MENANGGUHKAN kesenangan. Ustaz Umar Hidayat, M.Ag. menjelaskan, masihkah ada bekas puasa ramadan kita? Sebagian kita sudah melupakannya. Sebagiannya ingat tetapi kalah dengan hawa nafsunya.
Sebagiannya lagi ingat dan mempraktikkannya bersebab kondisi darurat. Sebagiannya lagi melaksanakannya sepenuh kesadaran karena mencari ridho Allah.
Bagian yang terakhir ini jumlahnya tidak banyak. Apa itu? Imsak, menahan diri dan mengelola diri agar tetap dalam ketaatan kepada Allah.
Termasuk dari bagian menahan diri adalah menahan keinginan untuk menangguhkannya agar mendapatkan yang terbaik dan lebih abadi di akhirat.
Memang tidak mudah melakukannya. Jika bukan karena Allah mungkin malas atau berat melaksanakannya.
Baca Juga: Keberkahan Doa Bagi Keluarga
Menangguhkan Kesenangan Dunia untuk Kebahagiaan Akhirat
Alkisah. Suatu hari Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menyengaja masuk menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam rumahnya, sebuah ruangan bilik kecil di sisi Masjid Nabawi.
Dipandangnya seluruh isi dalam bilik sederhana itu, beliau mendapati Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam sedang tidur beralas tikar kasar hingga nampak gurat-gurat bekas tikar itu di badan beliau.
Spontan melihat keadaan ini, Umar menitikkan air mata hingga terisak karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.
Beliau ternyata mengetahuinya; “Mengapa engkau menangis, ya Umar?” tanya Rasulullah.
“Bagaimana saya tidak menangis, Kisra (Raja Kisra dari Persia) dan Kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas,” sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya,” jawab Umar.
Didekatinya Umar lalu Rasulullah menghiburnya: “Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat…?”
Beliau, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan lagi, “Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir.
Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.”
Mengukur Hidup dengan Neraca Iman
Menjadi sekelas “Umar bin Khattab” di zaman sekarang tidak gampang. Rasa yang keluar dari mata air iman akan berbeda dengan yang lainnya.
Apa yang dilihat Umar membuat sisi kemanusiaannya terhentak dan mengalirkan perasaan gundah yang manusiawi. Senada protes kenapa orang yang begitu agung sholih dan manusia terbaik tidak mendapatkan kenikmatan dunia.
Sementara mereka orang-orang kafir, penista pendusta jauh dari ibadah justru bergelimang dunia, bahkan berlebih.
Tetapi sang empunya Rasulullah yang Umar ibai justru memahamkan akan arti menangguhkan kesenangan duniawi.
Sang Nabi ingin mengajarkan bahwa ketika mengukur hidup ini hanya dengan timbangan duniawi, maka terlalu banyak kenyataan hidup yang akan menyesakkan dada.
Maka ukurlah dengan neraca iman. Dibutuhkan ketajaman iman, dan bukan semata kalkulasi duniawi agar kita selamat dunia dan akhirat.
Melihat bergelimang harta di depan mata bagi orang yang sedang berkesusahan lagi serba kesulitan adalah mimpi buruk di siang bolong.
Tetapi hidup tak boleh menyerah dan kalap karena keadaan. Selama iman masih dalam dada, selalu ada jalan keluar yang tak disangka.
Di saat seperti ini, yang kita butuhkan sebenarnya adalah manajemen menangguhkan kesenangan agar bisa bertahan dan produktif di jalan yang benar.
Puasa dengan imsak telah mengajarkan itu semua kepada kita. Dengan manajemen imsak kita akan terasa sehat jasmani dan rohani. Karena sungguh kebahagiaan sejati nanti di akhirat kelak.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. al-Hadîd [57]: 20).[ind]