KHUTBAH Jumat tentang etos kerja dan keikhlasan dalam Islam berikut diharapkan dapat menambah semangat kita dalam bekerja. Terlebih lagi, bekerja bisa bernilai ibadah apabila memang diniatkan karena Allah dan mencari nafkah untuk keluarga.
Khutbah ini disampaikan oleh K.H. Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D di Masjid Istiqlal.
Jamaah Jumat rahimakumullah.
Melalui mimbar khutbah Jumat yang mulia ini, khatib berpesan pada diri khatib sendiri khususnya dan kepada segenap hadirin jamaah Jumat yang mulia pada umumnya, marilah kita senantiasa tidak henti dan tiada lelah terus berusaha meningkatkan kualitas keagamaan kita.
Yakni dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu dengan menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala dengan ikhlas, khusyu, dan penuh tawakkal juga menjauhi larangan Allah subhanahu wata’ala. Serta memperbanyak aktifitas kesalehan serta meningkatkan kehati-hatian agar kita tidak terseret oleh rayuan setan dan bujukan hawa nafsu.
Sehingga kita mendapatkan rahmat dan keridlaan Allah subhanahu wata’ala. Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Baca Juga: Khutbah Jumat Kiai Didin Hafidhuddin Tentang Pengelolaan Kekayaan dalam Islam
Khutbah Jumat Tentang Etos Kerja dan Keikhlasan dalam Islam
Hadirin Jamaah Jumat rahimakumullah.
Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah subhanahu wata’ala yang lain. Manusialah yang sanggup mengemban amanat Allah subhanahu wata’ala.
Di atas pundaknya terdapat tugas-tugas mulia, kewajibankewajiban yang harus ditunaikan dengan baik. Baik kewajiban kepada Khaliqnya (sang pencipta), maupun kewajiban terhadap dirinya atau kepada orang lain.
Terutama kewajiban kepada orang yang menjadi tanggung jawabnya atau keluarganya, baik tanggungjawab dalam masalah pendidikan maupun nafkah sandang, pangan dan papan sesuai dengan kesanggupan.
Untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab tersebut manusia harus berusaha dan berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya menurut kemampuan yang ada.
Kemudian dari mana kebutuhan nafkah itu diperoleh kalau kita tidak bekerja sambil mengharap rahmat dari Allah subhanahu wata’ala.
Bekerja yang kita lakukan itu namanya ikhtiar. Dan sebagai orang beriman, ikhtiar itu harus disertai dengan tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala juga disertai dengan penuh keikhlasan dan kerelaan mengemban tugas mulia, untuk modal beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Hadirin Jamaah Jum’ah rahimakumullah.
Bekerja dan berusaha adalah sesuatu yang sangat mulia. Bekerja apa saja asal dengan jalan yang benar dan halal disertai dengan tidak mengabaikan kewajiban kepada Allah subhanahu wata’ala dan tidak melupakan kepentingan akhirat.
Sebab tidak sedikit orang yang bekerja mencari kekayaan duniawi tetapi melupakan kepentingan dan keselamatan ukhrawi. Karena sibuk bekerja sehingga mereka rela meninggalkan kewajiban kepada Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Hadirin Jamaah Jum’ah rahimakumullah.
Islam mendorong umatnya untuk bekerja agar menjadi manusia mulia dan mandiri serta tidak membebani orang lain. Oleh karena itu bekerja tercatat sebagai ibadah karena sebagai bukti menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala.
Islam menghendaki agar kita sebagai muslim hendaknya memiliki etos kerja agar kerja kita tidak sekedar memperoleh hasil maksimal tapi juga ada tujuan yang lebih mulia dan esensial yaitu munculnya keyakinan kuat bahwa setiap usaha atau pekerjaan apa pun akan berakhir menuju Allah subhanahu wata’ala. Ada beberapa ciri umum yang bisa dijadikan ukuran apakah kita memiliki etos kerja tinggi atau rendah, di antaranya:
Orientasi ke Masa Depan
Muslim yang beretos kerja tidak hanya bermodal semangat tapi harus memiliki orientasi ke masa depan. Ia bekerja berdasarkan perhitungan dan rencana yang matang untuk terciptanya masa depan yang lebih baik. Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an dalam surat Al-Hasyr ayat 18,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr/59: 18).
Artinya, sebagai seorang muslim, orientasi kerjanya tidak hanya terbatas pada kehidupan di dunia tapi juga demi membangun kehidupan akhirat. Seluruh aktifitas kerja di dunia harus disadari sebagai perjalanan menuju kehidupan akhirat yang hakiki.
Seorang Muslim yang beretos kerja memang harus berorientasi masa depan. Tetapi jika orientasinya terbatas di dunia, maka akan melahirkan sikap-sikap yang kontraproduktif dari kesungguhan bekerja. Sikap ini hanya akan melahirkan para pekerja-pekerja keras yang berjiwa sekuler. Bahkan bukan mustahil cenderung serakah, dan egois.
Kerja Keras
Anjuran al-Qur’an untuk bekerja keras bisa dipahami dari firman Allah subhanahu wata’ala pada surat At-Taubah ayat 105,
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. al-Taubah/9: 105)
Al-Qur’an selalu memotivasi setiap pemeluknya untuk senantiasa berkreasi dan berinovasi. Bahkan Islam memberi landasan yang mendasar, bahwa sebuah kerja keras harus dilandasi niat yang benar, serta sadar bahwa setiap prestasi kerja kita akan dinilai oleh Allah subhanahu wata’ala, Rasul SAW dan orang beriman.
Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa seseorang akan dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala jika mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan, optimal dan mempersembahkan karya yang terbaik.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبرني والبيهقي)
Artinya:
Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.”
Bekerja secara profesional juga menjadi salah satu ciri orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana dalam hadis:
Artinya : “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja” (HR. Baihaqi dari Salim dari bapaknya).
Hadis ini jelas memberi apresiasi kepada setiap muslim yang bekerja dan berusaha. Islam membenci umatnya yang menganggur dan berpangku tangan menunggu belas kasihan orang lain.
Sahabat Umar ibn Khattab pernah berkata, saya benci melihat salah seorang diantara kalian menganggur tidak melakukan pekerjaan yang menyangkut dunianya tidak pula kehidupan akhiratnya.
Islam tidak pernah membatasi jenis pekerjaan seseorang, yang penting halal. Islam juga tidak pernah mengukur kualitas pekerjaan dari hasilnya tapi dari sisi kontinuitasnya, seperti dalam sebuah hadis :
Artinya : “Bekerjalah semaksimal mungkin yang kamu bisa lakukan, karena sesungguhnya Allah tidak pernah bosan sampai kalian bosan sendiri. Hanya saja, amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah sedikti namun kontinu.” (HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah).
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ ٧ وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ ࣖ ٨
Artinya : “Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain) dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah!” (QS. asy-Syarh/94: 7 – 8).
Ayat diatas memberikan petunjuk bahwa seorang muslim harus memiliki kesibukan. Bila telah selesai satu pekerjaan, ia harus memulai pekerjaan lain sehingga kita tidak akan pernah menelantarkan waktunya yang sangat berharga.
Menghargai Waktu
Islam mengajarkan kepada umatnya agar setiap detik dan waktunya harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat seperti diisyaratkan oleh al-Qur’an Surat al-Asr ayat 1-3:
وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ ٣
Artinya: “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran”. (QS. al-Asr/103: 1-3)
Manusia akan mengalami kerugian jikat tidak benarbenar memanfaatkan secara optimal kesempatan hidupnya, sebab waktu tidak akan terulang. Dan dalam menjalani waktu pasti ada naik dan turunnya.
Karena itu, orang yang beretos kerja tinggi akan selalu mampu mengisi waktunya dengan hal-hal yang lebih penting dan esensial: meningkatkan keimanan, beramal saleh, dan membina komunikasi, sebagaimana gambaran ayat di atas.
Bertanggung Jawab
Etos kerja tinggi yang dimiliki seorang Muslim tidak hanya ditunjukkan dalam hal keseriusannya dalam pekerjaan namun semuanya dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab.
Seorang Muslim yang beretos kerja harus berani menanggung setiap resiko apa pun atas segala yang diperbuat setelah melalui perhitungan dan pemikiran yang mendalam.
Ia harus berani menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ia tidak boleh mencari perlindungan ke atas dan melemparkan kesalahan ke bawah, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya” (QS. al-Baqarah: 286).
Pada akhirnya serangkaian pekerjaan yang kita lakukan mensyaratkan keikhlasan Bekerja tidak melulu soal mencari uang dan keuntungan tapi lebih daripada itu, adalah kewajiban seorang manusia kepada Allah subhanahu wata’ala untuk bekerja, untuk mencari nafkah, serta untuk menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya.
Karena itu, agar bernilai ibadah, bekerja harus ikhlas lillahi ta’ala. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi:
Artinya : “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala tidak akan menerima sebuah amal kecuali yang ikhlas dan semata-mata mengharap wajah Allah subhanahu wata’ala.”
Artinya : “Berapa banyak amal-amal yang kecil menjadi besar karena niatnya (yaitu kadar keikhlasannya). Dan berapa banyak amal-amal yang besar menjadi kecil di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala juga karena kadar keikhlasannya.”
Berbicara masalah keihlasan, ada dua sisi yang keihlasan. Sisi pertama adalah ikhlas merupakan syarat diterimanya sebuah amal. Sisi kedua bahwa ikhlas merupakan salah satu barometer tinggi rendahnya sebuah amal.
Semakin tinggi kadar keikhlasan, maka semakin tinggi nilainya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Jadi yang dipandang, dinilai, dan dilihat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah kadar dan kualitas keihlasan kita.
Maka dari itu, hendaknya kita terus berusaha meningkatkan kualitas kaikhlasan kita.Bukan hanya sekedar ikhlas menjadi syarat sebuah amal, Tapi lebih dari itu adalah kita harus meningkatkan kadar keikhlasan kita sehingga amal itu menjadi lebih tinggi nilainya di sisi Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu keihlasan menduduki posisi kunci dalam setiap pekerjaan kita.
Mari kita selalu berusaha dan berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga kita dipermudah oleh Allah subhanahu wata’ala dalam beribadah, bekerja dan meningkatkan etos kerja kita dengan balutan ikhlas lillahi ta’ala. [Cms]
Sumber: Istiqlal.or.id