BAGAIMANA bisa Umair tidak berkhianat pada keluarga, tetapi sekaligus juga tak membiarkan kesesatan? Allah telah menjadikan Umair bin Sa’d memiliki tempat tersendiri di hati generasi sahabat.
Iman yang kuat, hati yang bersih, jiwa yang tenang, akhlak yang mulia, dan wajah yang bercahaya membuat senang siapa saja yang berteman dan melihatnya.
Baca Juga: Umair bin Wahb Kembali ke Mekkah Sebagai Muslim
Ketika Umair Tidak Berkhianat pada Keluarga sekaligus Tak Membiarkan Kesesatan
Baginya, Islam adalah segala-galanya, tidak satu pun kepentingan yang bisa menggesernya.
Pada suatu hari, ketika ia sedang berada di rumah kerabatnya, ia mendengar seorang dari mereka bernama Julas bin Suwaid bin Shamit berkata, “Seandainya Muhammad itu berkata benar, tentu kita ini lebih buruk dari keledai.”
Julas sudah masuk Islam, tapi hanya sebagai pelarian.
Mendengar ucapan itu, ada kemarahan dan kebingungan dalam dirinya. Ia bingung, apa yang harus dilakukan!?!! Apakah ia harus memberi tahu Nabi?
Bukankah ini pembicaraan antar-keluarga? Apakah ia harus merahasiakan ucapan itu? Lantas di mana kesetiaannya kepada Rasulullah yang telah mengentaskannya dari kesesatan?
Namun, kebingungannya tidak berlangsung lama. Kejujuran dan kesungguhan selalu mengantar pada jalan keluar. Ia berkata kepada Julas, “Julas, Demi Allah, engkau termasuk orang yang aku hormati dan paling baik kepadaku. Aku sangat tidak rela ada bahaya yang menimpamu.
Baru saja engkau ucapkan kata-kata yang jika aku sebarkan, pasti kata-kata itu mencelakaimu. Jika aku diamkan, berarti aku merusak keimananku sendiri. Aku tidak akan merusak janji setiaku kepada Rasulullah. Aku akan sampaikan ucapanmu yang kudengar kepada beliau.”
Sekarang, Umair sudah bisa tenang kembali. Ia tidak menjadi pengkhianat dalam keluarga yang dengan seenaknya menyiarkan apa yang menjadi rahasia keluarga.
Ia juga telah menyelamatkan agamanya dari kemunafikan yang membahayakan. Dan yang ketiga, ia telah memberi kesempatan kepada Julas untuk menebus kesalahan dan beristigfar, dengan keterusterangannya akan melaporkan kepada Rasulullah. Seandainya saat itu juga ia menarik ucapannya, tentu Umair tidak jadi melaporkan kepada Rasulullah.
Tetapi rupanya Julas terbawa oleh kesombongannya. Ia tidak mau meminta maaf.
Umair meninggalkan mereka dan berkata, “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Allah menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dalam dosamu.”
Setelah mendapat laporan dari Umair, Rasulullah memanggil Julas. Julas menyangkal pengaduan Umair, bahkan dengan bersumpah dengan nama Allah.
Akan tetapi, wahyu Allah turun menjelaskan yang benar dan salah,
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).
Sesungguhnya, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.
Jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (At-Taubah :74)
Julas terpaksa mengakui perbuatannya dan meminta maaf atas kesalahannya. Terlebih, firman Allah di atas benar-benar memposisikan dirinya pada pihak yang salah dan hina.
Namun pada saat yang sama ayat di atas menjanjikan rahmat Allah jika ia mau bertobat. Tindakan Umair ternyata membawa kebaikan bagi Julas. Julas bertobat dan menjadi muslim yang taat.
Nabi memegang telinga Umair dan berkata, “Hai anak muda, telingamu telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan Tuhanmu telah berpihak kepadamu.” [Cms]
Sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom