KEMAMPUAN diplomasi dalam Islam dijelaskan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan.
Kita ambil pelajaran dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Dzulqa’dah, 6 Hijriyah (HR. al Baihaqi, 4/91), membawa 1400 kaum muslimin (HR. Bukhari no. 4154), dan membawa 70 ekor Unta, hendak Umrah ke Baitullah, dihadang Quraisy di Hudaibiyah. (HR. Ahmad no. 18910).
Ada pun isi perjanjian Hudaibiyah (Abu Umar ash Shabuni, as Sirah an Nabawiyah kama Ja’at fi Ahadits ash Shahihah, 3/193-194):
– Tidak ada peperangan selama 10 tahun, tidak ada al makfufah (tipuan), al islaal (pencurian), dan al ighlaal (khianat).
– Siapa yang ingin ikut bersumpah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam silahkan, siapa yang ingin ikut bersumpah bersama Quraisy juga silahkan.
– Pasukan Islam harus pulang tahun ini, tidak boleh ke Mekkah, Umrah ditunda tahun depan dan hanya tiga hari , dan tidak boleh membawa senjata peperangan, hanya boleh membawa pedangnya musafir.
– Orang-orang Mekkah (Quraisy) tidak boleh keluar mengikuti agama Muhammad, sementara orang-orang Madinah tidak boleh dilarang untuk ikut agama orang Quraisy di Mekkah.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Isi perjanjian merugikan kaum Muslimin, dan ditentang keras oleh Umar bin al Khathab Radhiyallahu ‘Anhu.
Sebab, seperti menunjukkan kelembekkan umat Islam.
Tapi di masa-masa tenang saat berlakunya perjanjian Hudaibiyah, justru berbondong-bondong manusia masuk Islam.
Akhirnya, turunlah surat Al Fath (kemenangan) “Inna fatahnaa laka fathan mubiina” (Sesungguhnya Kami telah memberikanmu kemenangan yang nyata).
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
نَزَلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ الْكَرِيمَةُ لَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقِعْدَةِ مِنْ سَنَةِ سِتٍّ مِنَ الْهِجْرَةِ، حِينَ صَدَّهُ الْمُشْرِكُونَ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لِيَقْضِيَ عُمْرَتَهُ فِيهِ، وَحَالُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَالُوا إِلَى الْمُصَالَحَةِ وَالْمُهَادَنَةِ، وَأَنْ يَرْجِعَ عَامَهُ هَذَا ثُمَّ يَأْتِيَ مِنْ قَابِلٍ، فَأَجَابَهُمْ إِلَى ذَلِكَ عَلَى تَكَرُّهٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، مِنْهُمْ عُمَرَ بْنِالْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Kemampuan Diplomasi Dalam Islam
Baca juga: Belajar Berdiplomasi dari Al-Mughirah bin Syu’bah (1)
Turunnya ayat ini, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali dari Hudaibiyah, Dzulqa’dah, 6 H. Saat itu kaum musyrikin menghalangi untuk masuk ke masjid al haram dalam rangka Umrah, mereka berunding, lalu mereka mengambil maslahat dan berdamai, tahun itu juga mereka pulang dan akan datang lagi tahun depan, sebagian sahabat nabi ada yang meresponnya dengan tidak suka, di antaranya Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu ….” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/325).
Peristiwa ini menunjukkan dibalik pengorbanan terhadap idealita, setelah melalui perjuangan dan lobi-lobi, tidak selalu hasilnya buruk.
Awalnya bisa jadi nampak buruk di mata manusia.
Perjuangan tidak selalu dimaknai kekerasan, otot, dan ngotot dalam debat.
Sikap mengalah dan berdamai, untuk rehatnya fisik dan jiwa, serta memberikan nafas kepada dakwah Islam adalah bagian dari perjuangan.
Allah Ta’ala selalu punya cara untuk memenangkan pertarungan hidup hamba-hambaNya, maka yakinilah![Sdz]