ChanelMuslim.com – Jejak Muslim di Tanah Matahari Terbit
Orang Jepang pertama kali mengetahui Islam pada 1877 M sebagai bagian dari pemikiran keagamaan Barat. Kontak penting lainnya terjadi pada 1890 M ketika Turki Ottoman mengirimkan sebuah kapal angkatan laut ke Jepang dengan tujuan memulai hubungan diplomatik serta memperkenalkan Muslim kepada orang Jepang. Kapal angkatan laut yang disebut Ertugrul itu terbalik. Sebanyak 540 orang dari 609 penumpangnya tenggelam dalam perjalanan kembali ke rumah.
Muslim Jepang pertama yang pernah dikenal adalah Mitsutaro Takaoka yang masuk Islam pada 1909. Setelah berhaji ia mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka. Muslim kedua adalah Bumpachiro Ariga yang sekitar waktu yang sama pergi ke India untuk berdagang dan masuk Islam di bawah pengaruh Muslim lokal. Ia kemudian berganti nama menjadi Ahmad Ariga.
Baca Juga: Jadi Pahlawan Lingkungan, Ikuti Jejak Para Inisiator Aksi Iklim dari Indonesia Ini
Jejak Muslim di Tanah Matahari Terbit
Studi terbaru mengungkapkan, Torajiro Yamada kemungkinan adalah Muslim pertama Jepang. Ia mengunjungi Turki untuk menyampaikan simpati atas musibah Erthugul. Ia masuk Islam di sana dan berganti nama menjadi Abdul Khalil.
Kemungkinan ia juga telah berhaji. Kehidupan komunitas Muslim yang sebenarnya dimulai setelah kedatangan ratusan pengungsi Muslim dari Turkoman, Uzbekistan, Tajik, Kirgiz, dan Kazakh dari Asia Tengah dan Rusia saat Revolusi Bolshevik selama Perang Dunia I.
Mereka membentuk komunitas kecil di beberapa kota utama di Jepang. Sejumlah orang Jepang memeluk Islam melalui kontak dengan Muslim ini. Dengan terbentuknya komunitas-komunitas kecil Muslim beberapa masjid telah dibangun.
Masjid yang paling penting adalah Masjid Kobe yang dibangun pada 1935 (yang merupakan satu-satunya masjid yang tersisa di Jepang saat ini) dan Masjid Tokyo yang dibangun pada 1938.
Sangat sedikit Muslim Jepang yang berpartisipasi dalam pembangunan Masjid tersebut. Masjid itu juga tidak memiliki imam dari Jepang.
Selama Perang Dunia II, terjadi Islamic Boom atau munculnya kesadaran mengenai Islam melalui organisasi dan riset terhadap Islam dan dunia Muslim yang dilakukan pemerintah militer.
Selama periode ini, lebih dari 100 buku dan jurnal tentang Islam telah diterbitkan. Namun, pusat penelitian tidak dijalankan oleh Muslim. Organisasi ini juga tidak memiliki kepentingan menyebarkan agama Islam. Tujuannya agar militer lebih siap dengan pengetahuan yang diperlukan tentang Islam dan Muslim karena ada komunitas Muslim besar di daerah jajahan di Cina dan Asia Tenggara.
Organisasi ini menghilang seiring dengan berakhirnya perang pada 1945. Islamic Boom muncul kembali setelah 1973 ketika media massa Jepang memberikan publisitas besar pada dunia Muslim secara umum dan dunia Arab khususnya, setelah menyadari pentingnya negara-negara tersebut bagi ekonomi Jepang.
Dengan publisitas ini banyak orang Jepang yang tidak tahu tentang Islam mendapat kesempatan melihat tata cara berhaji di Makkah, mendengar panggilan azan dan bacaan Alquran. Selama periode tersebut, puluhan ribu orang Jepang dikabarkan menjadi mualaf.
Hanya sedikit orang yang bisa mengajarkan Islam dalam bahasa Jepang. Sejarah dakwah di Jepang selama 40 tahun terakhir merupakan usaha yang dihasilkan oleh Muslim dari negara di luar Jepang. Bangsa Turki menjadi komunitas Muslim terbesar di Negeri Sakura itu.
Suasana Ramadhan
Hal inilah yang bakal dirindukan saat menjalani ibadah selama Ramadan di luar negeri, terlebih lagi di Jepang. Berbaur dengan banyak orang yang semakin homogen, kita tidak akan mudah mendapati muslim dan muslimah lain semudah di tanah air.
Ramadhan di Jepang, kita tidak akan mendapati suasana seperti yang ada di tanah air. Tidak ada teriakan “Sahur, sahur!” diikuti dengan suara speaker masjid yang menggema jadi alarm yang membangunkan umat muslim untuk menyegerakan sahur.
Menjelang berbuka pun tidak akan ada bazaar takjil atau ngabuburit.
Dengan mayoritas penduduknya yang berkeyakinan Shinto dan Buddha, Islam menjadi minoritas di Jepang. Menariknya dengan toleransi yang sangat tinggi baik dari dari institusi negara maupun penduduknya Jepang sendiri, masyarakat Jepang sangat menghargai dan memberikan kebebasan untuk menjalankan puasa Ramadan bagi setiap muslim.
Hanya sedikit hambatan yang biasanya dihadapi dalam menjalankan puasa di Jepang. Terutama soal musim, kondisi cuaca, dan lingkungan yang nuansanya sangat berbeda dengan di Indonesia. Ini yang menjadi tantangan saat menjalankan ibadah Ramadan di Jepang.
Berbeda dengan Indonesia, Jepang adalah negara empat musim. Pada musim dingin, siang lebih pendek dibandingkan malam. Ini kebalikan dari musim panas. Pada 2020 ini, Ramadan jatuh pada peralihan dari musim semi ke musim panas.
Cuaca tidak terlalu lembap dan terbilang masih sejuk. Dengan suhu rata-rata 20 derajat Celcius, kamu masih bisa bertahan menahan lapar dan dahaga selama 16 jam. Durasinya lebih panjang daripada di Indonesia. Kamu harus sudah sahur sebelum subuh yang jatuh pada pukul 2:30 dan berbuka pada 19:00 waktu setempat. [My/republika.co.id]