ChanelMuslim.com – Dalil Puasa Syawal adalah dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang masyhur. Berikut ini kami turunkan penjabarannya sebagai tatsqif dan taurits al ‘ilmi bagi kita semua. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Puasa Qodho atau Syawal Dulu?
Dalil Puasa Syawal
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Dalil puasa Syawal, dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menyusulnya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan dia berpuasa setahun penuh.”
Hadits ini SHAHIH dikeluarkan oleh: Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1164, Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 759, Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 2433,
Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 1716, Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra 2866, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 8214,
dan As Sunan As Shaghir No. 1119, Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 3908, 3909, 3914, 3915, Imam Abdu bin Humaid dalam Musnadnya No. 228,
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar 1945, Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1780.
Baca Juga: Dua Hal tentang Puasa Syawal yang Perlu Kamu Ketahui
Hukum Puasa Syawal
Hukum puasa Syawal diperselisihkan para ulama, antara yang menyunnahkan dan memakruhkan. Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:
فيه دلالة صريحة لمذهب الشافعى وأحمد وداود وموافقيهم في استحباب صوم هذه الستة وقال مالك وأبو حنيفة يكره ذلك
Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang jelas bagi pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan yang menyepakati mereka tentang sunnahnya berpuasa enam hari tersebut.
Berkata Malik dan Abu hanifah: Hal itu dimakruhkan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/56) Namun menurut pendapat mayoritas ulama adalah sunnah. Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْمَالِكِيَّةُ ، وَالشَّافِعِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ وَمُتَأَخِّرُو الْحَنَفِيَّةِ – إِلَى أَنَّهُ يُسَنُّ صَوْمُ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بَعْدَ صَوْمِ رَمَضَانَ
Mayoritas fuqaha –Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah muta’akhirin (generasi kemudian)- berpendapat bahwa disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadan.
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/92)
Sama dengan Berpuasa Tiga Hari setiap Bulan
Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunannya:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ هُوَ حَسَنٌ هُوَ مِثْلُ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Sekelompok ulama menyunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal berdasarkan hadits ini. Ibnul Mubarak mengatakan:
“Ini bagus, semisal dengan berpuasa tiga hari di setiap bulan.” (Lihat Sunan At Tirmidzi pada komentar hadits No. 759)
Sementara pemakruhan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu, dengan alasan ditakutkan orang awam menganggap puasa tersebut masih satu paket dengan puasa Ramadan, jika tidak demikian, tidak apa-apa.
Baca Juga: Keutamaan Puasa Sunnah di Bulan Syawal
Imam Malik Memakruhkan Puasa Syawal
Disebutkan dalam kitab Mawahib Al Jalil – karya Imam Al Hathab Al Maliki:
كَرِهَ مَالِكٌ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – ذَلِكَ مَخَافَةَ أَنْ يَلْحَقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ مِنْ أَهْل الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ ، وَأَمَّا الرَّجُل فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ صِيَامُهَا .
Imam Malik Rahimahullah Ta’ala memakruhkan hal itu, ditakutkan hal tersebut merupakan memasukkan kepada Ramadan dengan sesuatu yang bukan berasal darinya yang dilakukan oleh orang bodoh dan ekstrem.
Ada pun seseorang yang mengkhususkannya secara tersendiri, maka puasa tersebut tidak makruh. (Imam Al Hathab, Mawahib Al Jalil Li Syarhi Mukhtashar Al Khalil, 3/329).
Disebutkan dalam Al Istidzkar:
وذكر مالك في صيام ستة أيام بعد الفطر أنه لم ير أحدا من أهل العلم والفقه يصومها
Imam Malik menyebutkan tentang puasa enam hari Syawal, bahwa beliau belum pernah melihat seorang pun
dari kalangan ulama dan ahli fiqih yang melakukan puasa itu.(Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar Al Jaami’ Li Madzaahib Fuqahaa Al Amshaar, 3/379).
Kemakruhan Puasa Syawal
Al Kisani Rahimahullah menceritakan:
وَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ : أَكْرَهُ أَنْ يُتْبَعَ رَمَضَانُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ ، وَالْعِلْمِ يَصُومُهَا وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ ، وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ ، وَأَنْ يُلْحِقَ أَهْلُ الْجَفَاءِ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ
Demikian juga diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau berkata: “Aku membenci puasa Ramadan disusul dengan puasa Syawal,
dan aku belum pernah melihat seorang pun dari ahli fiqih dan ulama yang berpuasa itu, dan belum sampai kepada kami seorang pun dari salaf,
sesungguhnya para ulama memakruhkan hal itu karena mereka khawatir dengan kebid’ahannya, dan khawatir orang ekstrem akan mengkaitkan puasa Ramadan dengan hal yang bukan berasal darinya.”
(Imam Al Kisani, Al Bada’i Shana’i, 4/149. Mawqi’ Al Islam).
Aroma kemakruhan berpuasa enam hari di bulan Syawal, juga nampak dalam pandangan Mazhab Hanafi generasi awal. Berikut ini keterangannya:
وَمِنْهُ أَيْضًا صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ مُتَفَرِّقًا كَانَ أَوْ مُتَتَابِعًا وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ كَرَاهَتُهُ مُتَتَابِعًا لَا مُتَفَرِّقًا لَكِنَّ عَامَّةَ الْمُتَأَخِّرِينَ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا
Di antaranya juga (yang makruh) berpuasa enam hari Syawal menurut Abu Hanifah, baik dilakukan terpisah atau berturut-turut.
Baca Juga: Hukum Puasa Sunnah dan Puasa yang Dilarang
Hanafiyah Berpendapat Puasa Syawal Dilakukan Berturut-turut atau Dipisah Tidak Apa-apa
Dari Imam Abu Yusuf: makruh jika berturut-turut, dan jika dipisah tidak apa-apa. Tetapi mayoritas Hanafiyah generasi berikutnya berpendapat tidak apa-apa.
(Imam Ibnu Nujaim Al Mashri, Bahrur Raiq, 6/133. Mawqi’ Al Islam) Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْهِدَايَةِ فِي كِتَابِهِ التَّجْنِيسُ : إنَّ صَوْمَ السِّتَّةِ بَعْدَ الْفِطْرِ مُتَتَابِعَةً مِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّ الْكَرَاهَةَ إنَّمَا كَانَتْ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مِنْ أَنْ يُعَدَّ ذَلِكَ مِنْ رَمَضَانَ فَيَكُونَ تَشَبُّهًا بِالنَّصَارَى وَالْآنَ زَالَ ذَلِكَ الْمَعْنَى
Berkata pengarang Al Hidayah dalam kitabnya At Tajnis: “Sesungguhnya berpuasa enam hari setelah hari raya secara berturut di antara mereka ada yang memakruhkan.
Dan, pendapat yang menjadi pilihan adalah tidak apa-apa, sebab kemakruhannya itu adalah jika hal tersebut tidak aman dari anggapan hal itu masuk ke dalam Ramadan, maka itu menjadi menyerupai Nasrani.
Namun sekarang makna itu sudah berubah. (Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 8/35) Imam Abu Yusuf Rahimahullah –murid dan kawan Imam Abu Hanifah- berkata:
كَانُوا يَكْرَهُونَ أَنْ يُتْبِعُوا رَمَضَانَ صَوْمًا خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَ ذَلِكَ بِالْفَرْضِيَّةِ
Mereka memakruhkan menyusul puasa Ramadhan dengan berpuasa, khawatir hal itu dikaitkan dengan kewajiban. (Imam Al Kisani, Al Bada’i Shana’i, 4/149. Mawqi’ Al Islam)
Sementara Imam Al Kisani Rahimahullah memberikan tafsiran sebagai berikut:
وَالْإِتْبَاعُ الْمَكْرُوهُ هُوَ : أَنْ يَصُومَ يَوْمَ الْفِطْرِ ، وَيَصُومَ بَعْدَهُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ .فَأَمَّا إذَا أَفْطَرَ يَوْمَ الْعِيدِ ثُمَّ صَامَ بَعْدَهُ سِتَّةَ أَيَّامٍ : فَلَيْسَ بِمَكْرُوهٍ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ وَسُنَّةٌ .
Yang dimaksud “menyusul” yang dimakruhkan adalah berpuasa pada hari raya, lalu diikuti dengan lima hari setelahnya di bulan Syawal.
Ada pun jika berbuka pada hari raya, kemudian berpuasa setelahnya enam hari, maka tidak makruh, bahkan itu mustahab (disukai/sunah). (Ibid)