Oleh: Syahrul Fahmi
ChanelMuslim.com–Makassar, 1 Oktober. Laa ilaaha illallah, astaghfirullah alazim, menjadi kalimat yang tak pernah putus saya ucapkan sejak hari Jumat, 28 Agustus. Padahal kalimat itu sangat jarang saya ucapkan.
Ini mungkin menjadi titik balik buat saya dalam mengingat Sang Pencipta. Sebab, saya yang selama ini masih terbuai oleh dunia dikagetkan dengan bencana yang hampir merenggut nyawa saya beserta anak, istri, dan mama.
Bagaimana tidak, pasca-kejadian bencana alam gempa bumi dengan kekuatan mencapai 7,7 SR sehingga menghasilkan tsunami di Kota Palu menjadi kisah paling menakutkan dan mencekam dalam hidup. Mungkin rasa itu tidak bisa saya buang jauh. Masih teringat jelas peristiwa yang telah merenggut nyawa ribuan orang tersebut.
***
Kejadiannya pun tepat suara adzan tengah berkumandang di masjid-masjid. Saat kejadian saya pun, tengah membakar ikan untuk menjamu pelanggan saya. Saya baru merintis usaha kuliner di kota Palu.
Istri yang tengah hamil tua, anak, dan mama pun saat itu masih di kamar. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari bawah tanah.
Ratusan pengendara motor yang lalu lalang di jalan raya tiba-tiba ambruk sendiri dan listrik langsung padam. Seketika itu pun tanah bergetar. Yang pertama terasa pijakan kakiku seperti turun kemudian tanah naik dan disusul goyangan yang durasinya pun sangat panjang, lebih dari lima menit.
Seketika itu saya teringat keluarga saya yang ada di kamar. Mungkin istilah penerbangan selamatkan diri sendiri lebih utama baru selamatkan nyawa orang lain tak berlaku lagi buat saya. Sebab dalam pikiran, lebih baik saya mati bersama keluargaku daripada meninggalkan mereka dalam ruko yang masih bergetar akibat guncangan kuat tersebut.
Teriakan orang yang melarang saya untuk tidak masuk dalam rumah. “Pak jangan masuk, bahaya, Pak. Oi, Pak di luar saja.” itu teriakan orang yang saya sendiri tidak tahu darimana asalnya.
Sesampai depan pintu kamar, saya berusaha meraih mama, anak, dan istri. Saya tak ingat bagaimana saya bisa meraih mereka dan membawa mereka keluar rumah. Mungkin pikiran jernih sudah tak ada dalam kepala, yang hanya ada dalam pikiranku untuk menolong mereka semua.
Dengan sekuat tenaga, saya menuntun mereka keluar dari rumah. Kami berjalan perlahan dari kamar yang jaraknya 20 meter menuju pintu masuk, meski badan tidak bisa mengimbangi kuatnya getaran tanah. Sesekali kami terpental ke tembok. Tapi kami terus berusaha untuk keluar rumah.
Alhamdulillah, mereka semua selamat hingga keluar rumah. Di pinggir jalan kami menyaksikan sendiri bangunan-bangunan bergerak ke arah tidak jelas, kiri kanan ke depan dan belakang. Orang-orang tergeletak di jalanan dengan teriakan histeris.
Ada yang sudah mengingat keluarganya di rumah, dan banyak pula orang yang tiba-tiba terpisah oleh sanak keluarganya. Padahal saat itu mereka masih bersama di atas kendaraan masing-masing.
Mamaku dan istriku pun tidak ada habisnya menangis. Anakku yang masih berumur 2 tahun terus kudekap. Kutuntun mereka agar mencari tempat yang terbuka agar tak ada reruntuhan yang menimpa kami.
Kerabat yang telah lama menetap di kota Palu, yang kebetulan tinggal dua rumah dari saya pun memanggil kami agar berkumpul. Kami semua saling merangkul. Istighfar tidak ada habis kami ucapkan.
***
Hampir dua jam gempa tak berkesudahan terjadi. Dengan kekuatan yang perlahan menurun. Setelah itu kembali disusul gempa-gempa kecil, kalau dihitung mungkin mencapai ratusan kali hingga pagi hari.
Parahnya lagi, akses komunikasi dari empat provider di Palu putus sama sekali. Listrik padam pun tak tahu sampai kapan. Hal ini membuat kami semakn terisolasi.
Sekira jam 7 malam, ribuan orang berbondong-bondong mencari tempat aman. Ada yang berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Ada pula yang naik mobil dan motor. Saat saya menanyai mereka hendak ke mana, jawabannya sama, “Ikut saja orang. Mungkin ke gunung untuk cari tempat lebih tinggi.”
Saya dan keluarga pun sempat terpikir untuk ikut. Namun melihat istriku yang tengah hamil tua (sebab perkiran dokter HPL-nya 28 September) saya urungkan niatan itu.
Ancaman tsunami yang menjadi momok bagi warga coba kusembunyikan dari sanak keluargaku.
Saya pun mencoba berpikir positif. Letak geografis rumah saya berada di tempat tinggi. Jadi ancaman tsunami sangat kecil. Apalagi kota Palu merupakan daerah perairannya penuh teluk. Jadi kemungkinan tsunami tidak akan separah di Aceh.
Selain tawakkal kepada Allah, hal ini menjadi acuan untuk memilih menetap di depan rumah. Alhamdulillah, keputusan yang saya ambil itu tepat. Allah masih menyayangi kami. Kami semua selamat, meski trauma mendalam masih kami rasakan.
***
Pasca gempa yang terjadi sekira 2 jam lebih tanpa henti itu, kami pun kembali dibuat panik, sebab gempa susulan hingga pagi masih terus terjadi. Sesekali orang kembali berbondong-bondong untuk mengungsi.
Ketakutan sanak keluarga pun menjadi. Tapi saya berusaha menenangkan mereka. Saya melihat anak saya yang sangat takut. Dia tak henti saya dekap menenangkannya. Hingga tengah malam tak terhitung jumlah gempa yang terjadi.
Saya pun mengambil tikar dan membentangnya ke bahu jalan. Istri dan Mama beristirahat di sana. Anak yang saya gendong mulai tertidur. Dia pun bisa diletakkan di tikar. Hal ini pun menjadi pengalaman pertamanya tidur di luar kamar.
***
Hingga pagi hari gempa tak berhenti. Tapi kekuatannya mulai berkurang. Saya pun memiliki niatan untuk meninggalkan kota Palu secepatnya. Saya mencari koneksi ke semua jaringan.
Carteran mobil tak ada, sebab semua jalanan untuk keluar masuk kota Palu tidak ada. Longsor di mana-mana.
Belum lagi penerbangan umum yang tidak ada karena fasilitas bandara rusak parah.
Di sepanjang perjalanan mencari akses keluar Palu, saya dikagetkan melihat ratusan mayat yang tergeletak di sejumlah titik. Jalanan yang terbelah, bangunan yang rata dengan tanah.
Bahkan Mall Tatura (Ramayana) yang letaknya hanya 50 meter dari rumahku rusak parah. Ratusan mayat jelas terlihat di sana. Bahkan ada beberapa mayat yang bergelantungan di beberapa sudut mall yang masih berdiri miring.
Hal ini semuanya saya sembunyikan dari istri dan Mama. Saya tak ingin membuat trauma mereka menjadi parah. Sebab getaran kecil saja membuat mereka ketakutan.
***
Hingga malam hari, kami pun belum bisa meninggalkan Palu. Kami pun masih tinggal di depan jalan. Tak ada satu pun orang yang berani masuk ke dalam rumah.
Parahnya lagi, saat kami beristirahat di tengah malam, hujan malah turun. Kami tak memiliki tenda. Langit yang menjadi atap kami selama dua malam malah membasahi kami.
Parahnya lagi, selama tiga jam sekira pukul 02.00 Wita gempa berkekuatan sedang kembali terjadi selama empat kali. Disusul gempa ukuran kecil yang tak ada putusnya.
Saya pun khwatir dengan anak istriku, saya mencoba melihat-lihat rumah sakit. Sebab saya khawatir istriku bisa saja melahirkan kapan saja. Alangkah terkejutnya saya saat melihat ribuan pasien yang tergeletak di halaman rumah sakit. Bahkan kuburan Cina yang ada di dekatnya pun penuh.
Saya kian cemas. Istri yang bisa melahirkan kapan saja pasti tak akan mendapatkan pelayanan yang maksimal. Bahkan kemungkinan terburuk dirawat di rumah kuburan seperti pasien lainnya bisa terjadi.
***
Keesokan paginya (pada hari kedua pascagempa) saya kembali berusah mencari koneksi. Mencari kabar, apakah akses keluar kota Palu sudah bisa digunakan atau belum. Ternyata longsor masih terjadi di mana-mana.
Saya mencoba peruntungan ke bandara Sis Al Jufri. Di sana saya melihat ada proses evakuasi terjadi dengan pesawat Hercules milik TNI AU. Cukup sedikit informasi yang saya dapatkan dan kuputuskan untuk menjemput anak, istri dan mama saya.
Mereka saya ajak ke bandara dan mengambil pakaian seadanya dalam rumah. Mereka saya bawa ke bandara. Perjuangan untuk masuk ke area bandara pun sangat sulit. Desak-desakan warga terus terjadi.
Saya berusaha melindungi istri. Setiap ada orang yang mendorong saya maki. Bahkan ada beberapa orang yang saya pukul, saking cemasnya apabila perut istriku terdorong.
Allah Mahakuasa. Berkat perlindungannya, kami bisa melalui gerbang dengan keadaan sudah sangat lemas. Petugas penjaga dari satuan TNI pun tampak kewalahan menjaga dorongan warga.
Kondisinya yang hamil tua pun membuatnya mendapatkan prioritas untuk proses evakuasi. Tapi tidak bagi saya yang merupakan suaminya. Sesuai SOP, laki-laki sehat tidak diizinkan berangkat. Prioritas utama adalah kaum perempuan, anak-anak, lansia, dan orang sakit.
Hal ini pun membuat saya sempat pasrah. Saya mengikhlaskan anak, istri, dan mama saya berangkat terlebih dahulu menuju Kota Makaassar. Rasa putus asa membuatku berserah kepada Allah.
Bukti kecintaan Allah kepada kami kembali terlihat. Seorang dokter dari TNI yang mengevakuasi istri saya menghampiri dan membisikkan ke saya untuk menyelundup masuk ke dalam pesawat Hercules.
Saya diperintahkannya untuk lari ke sana melewati penjagaan kemudian masuk ke dalam pesawat. “Bang, saya pernah merasakan istri melahirkan tanpa kehadiran suami. Saya mengajari Abang untuk melanggar SOP yang saya pegang. Abang lari ke pesawat dan kalau ditahan bilang saja istriku tak ada yang dampingi. Tapi kalau tak diizinkan itu perjuangan terakhir kita agar bisa sama-sama istri. Cepat lari sana,” katanya sambil menepuk pundakku.
Saya pun yang tak sempat melihat papan namanya dan mengucapkan terima kasih kepadannya, langsung mengikuti intruksinya. Allah memperlihatkan kuasa-Nya.
Di saat puluhan orang dihentikan petugas, saya malah leluasa lari sekira 500 meter jauhnya hingga tiba di pantat pesawat hingga naik dan menemukan isteriku.
Tak lama kemudian pintu pesawat tertutup dan lepas landas. Di kaca pesawat Hercules saya melihat ke bawah dan mengucapkan salam perpisahan kepada petugas yang membantu.
Di situ pula saya baru melihat dengan jelas betapa parahnya kota Palu yang dilanda duka. Saya yang menjadi salah satu saksi hidup pun hanya bisa tawakkal kepada Allah. Ini teguran nyata buat umatnya.[ind]