Chanelmuslim.com – Cita-Cita Urwah bin Zubair (2)
Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepadaUrwah bin Zubair baik tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.
Usai shalat zuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka beliau melapangkan majlis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang Anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian.
Baca Juga: 4 Hal yang Bisa Kamu Lakukan untuk Menyambut Tahun Baru
Cita-Cita Urwah bin Zubair (2)
Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Alquran setiap siang dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Alquran dengan hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang sebentar lagi akan kami beritakan kepada Anda.
Dengan menunaikan shalat, Urwah memperolah ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin.
Telah diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”
Urwah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.
Begitulah, orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaa allah, laa quwwata illaa billah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. Al-Kahfi: 39)
Suatu masa di zaman khilafah al-Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah dengan suatu cobaan yang tak seorang pun mampu bertahan dan tegar selain orang yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh dengan keyakinan.
Tatkala amirul mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan ramah.
Kemudian datanglah ketetapan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, laksana angin kencang yang tak dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras hingga menyebabkan kematiannya.
Belum lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin menjalar dengan cepatnya.
Kemudian bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara apapun.
Namun para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Jalan itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak merasakan sakitnya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak, “Tidak perlu, aku tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan). Tabib berkata, “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab, “Aku tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ketika operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya, “Apa yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab, “Mereka akan memegangi Anda, sebab bisa jadi Anda nanti merasa kesakitan lalu menggerakan kaki dan itu bisa membahayakan Anda.” Beliau berkata, “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya. Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”
Mulailah tabib menyayat dagingnya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan, “Laa ilaaha Illallah Allahu Akbar,” sang tabib terus melakukan tugasnya dan Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.
Setelah itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan di betis Urwah bin Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah pingsan untuk beberapa lama dant terhenti membaca ayat-ayat Alquran di hari itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan yang beliau jaga semenjak remajanya.
Ketika Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya sambil berkata, “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawamu di tengah malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk hal-hal yang haram.”
Kemudian dibacanya syair Ma’an bin Aus:
Tak pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan
Tidak juga kakiku membawaku kepada kejahatan
Telinga dan pandangan mataku pun demikian
Tidak pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan telah menimpa orang lain sebelumku.
Kejadian tersebut membuat Amirul Mukminin, al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur dan menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.
Bersamaan dengan itu, di rumah khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah seorang di antaranya buta matanya. Kemudian al-Walid menanyakan sebab musabab kebutaannya. Dia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dulu tidak ada seorang pun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal bersama keluarga di suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta yang lari dari saya. Maka saya taruh bayi yang saya bawa di atas tanah lalu saya kejar onta tadi. Belum seberapa juh, saya mendengar jerit tangis bayi itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala, dia telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari dengan kencangnya. Akhirnya saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendakat dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah, saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.
Kemudian al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita Urwah, lalu mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”
Tatkala beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum ditanya, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih darinya.”
Demi melihat kedatangan dan keadaan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.
Yang paling baik di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggalkan engkau untuk kami, sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wali bagi pahala untukmu dan Dia pula yang menjadim kebagusan hisab untukmu.” (bersambung)
Sumber : http://kisahmuslim.com/urwah-bin-zubair/