oleh: Kusmarwanti Noe
ChanelMuslim.com – Bersyukur sekali saat itu saya berkesempatan mendapat pembimbing tesis yang hebat-hebat. Saat itu, saya kuliah di pascasarjana program studi Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Pembimbing pertama saya adalah Bapak Prof. Dr. Noeng Muhadjir almarhum, dosen yang sangat cerdas, kritis, dan visioner. “Rugi Mbak kalau kita kuliah hanya mendapat ilmu akademik saja. Berpikirlah divergen. Ada banyak ruang belajar yang bisa dieksplorasi. Dulu, kalau saya pergi ke suatu negara, saya belajar sejarah, politik di negara itu.”
Saya beruntung karena beliau sering meminta bimbingan di rumahnya, bahkan beberapa kali suami saya ikut masuk ke rumah ketika saya bimbingan. Dari situlah saya sering mendengar cerita dan mimpi-mimpi beliau. Saya merasa beliau dosen yang sangat bahagia dengan ilmu dan pengalaman-pengalaman akademiknya.
Pembimbing kedua saya adalah Ibu Prof. Dr. Aliyah Rasyid Baswedan. Saya biasa memanggilnya Ibu Aliyah. Beliau dosen yang cerdas dan lembut keibuan. Yang menarik, di akhir-akhir bimbingan, Bapak Prof. Dr. Noeng Muhadjir berpesan, “Segera temui Bu Aliyah ya, beliau akan ke Amerika mendampingi putranya ujian doktoral. Sambil Anda belajar dari beliau bagaimana menjadi ibu yang support anak-anaknya dengan baik. Jika beliau oke, saya juga oke, dan kita siap-siap ujian.”
Di luar dugaan, ketika saya menemui Bu Aliyah untuk bimbingan, beliau berpesan agar saya datang ke rumah beliau. Sore itu, sesuai kesepakatan saya menuju rumah beliau. Dengan ramah beliau sendiri yang membuka pintu dan menyilakan saya masuk ke ruang tamu. Secara fisik, ruang tamu beliau sederhana, tetapi secara emosional, ruang tamu beliau penuh kehangatan. Beliau dengan ramah bertanya apakah saya sehat, juga bertanya kabar anak saya yang saat itu masih berusia 3 tahunan. Sebagai mahasiswa yang mau bimbingan tesis, psikis saya merasa aman. Ini harga mahal bagi para mahasiswa yang akan bimbingan tugas akhir, baik skripsi, tesis, maupun disertasi.
Di sela-sela bimbingan waktu itu, datang seorang laki-laki mengantar gas. Beliau sendiri juga yang menemui dengan ramah, kemudian memanggil asisten rumah tangganya untuk mengurus ke belakang. Cara bersikap dan berkomunikasi beliau dengan laki-laki pengantar gas dan asisten rumah tangganya membuat saya semakin hormat. “Baik betul Ibu pembimbing saya ini!”
Beliau masuk ke ruang tamu lagi untuk melanjutkan bimbingan. Selama bimbingan dengan beliau, saya tidak pernah menemukan kata-kata “Ini salah!” atau “Masak kayak gini Anda tidak paham!”. Beliau selalu bertanya, “Ini maksudnya apa, Mbak?” setelah itu saya akan menjelaskan. Jika saya salah, beliau akan meluruskan dan mengarahkan dengan diskusi, atau kadang menunjukkan referensi yang perlu saya baca. Jika saya betul, beliau akan mengapresiasi dengan baik.
Yang menarik juga, beliau juga sangat menghargai temuan penelitian. Saat itu saya meneliti tentang kebebasan berekspresi dan kegembiraan dalam belajar sambil bermain di sekolah yang menerapkan fullday. Salah satu program sekolah yang saya teliti adalah menghafal Alquran. Ketika saya menunjukkan temuan bahwa anak-anak bisa menghafal Alquran sambil bermain-main, beliau sangat antusias.
Lalu, saya tunjukkan foto-foto ketika anak-anak sedang menghafal Alquran sambil bermain di ban-ban bekas didampingi gurunya, beliau sangat antusias mendengarkan hasil temuan saya. Tanya beliau, “Kalau anak menghafal Alquran sambil bermain, lalu gurunya bagaimana?” Saya sampaikan, gurunya akan ikut menghafal di dekatnya, menyimaknya, membetulkan jika salah. (Saat ini bu guru yang penghafal Alquran itu sudah meninggal karena sakit. Semoga beliau husnul khatimah. Aamiin.)
Lalu, saya mengaitkan kemampuan menghafal ini dengan kondisi belajar, lingkungan belajar, dan guru yang mengajar, beliau semakin antusias. Saya sebagai mahasiswa saat itu merasa sangat bahagia, hasil temuan penelitian saya diapresiasi dengan baik oleh dosen pembimbing. Beliau mengarahkan untuk mempertajam pembahasan agar faktor-faktor pendukung dan model pembelajaran itu lebih bermakna.
Usai bimbingan, beliau cerita, di belakang ramai. Ada cucu-cucu saya. Lalu, mengalirlah cerita tentang putra-putranya. Beliau ingin mempercepat waktu pengerjaan tesis saya, karena beliau akan ke Amerika mendampingi putranya untuk ujian doktoral di Northern Illinois University.
Beberapa kali beliau cerita tentang putranya ini. Bahkan, pernah saat itu ketika sedang kuliah, beliau minta izin menerima telepon dari putranya di Amerika dan masuk lagi ke kelas dengan mata berkaca-kaca. Saat itu saya berandai-andai, bahagianya jika besok saya punya kesempatan seperti ini, bisa mendampingi anak saya, meski dari jauh, untuk menyelesaikan studinya, mendengarkan ceritanya, dan menyaksikan dia berjuang untuk menyelesaikan studinya. Semoga tidak hanya mimpi.
Dalam setiap cerita, beliau selalu menyebut nama “Anies anak saya”. Bagi saya saat itu, nama Anies hanya saya kenal sebagai putra Bu Aliyah, dosen pembimbing saya. Saya tak pernah menyangka jika akhirnya di perjalanannya, nama Anies menjadi nama yang sering diperbincangkan karena prestasi dan kontribusinya pada negara dan bangsa, menjadi Menteri Pendidikan RI dan menjadi gubernur DKI, Prof. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D.
Sesi bimbingan sore itu pun usai. Saya mendapat acc untuk ujian. Segera saya mengurus administrasi ujian. Alhamdulillah semua lancar dan dimudahkan. Bahkan, sampai ujian, semua berjalan lancar dengan revisi yang sangat sedikit dari empat dosen penguji. Satu minggu revisi selesai dan saya dengan mudah mendapat tanda tangan pengesahan.
Terakhir saya bertemu Ibu Aliyah. Saya ucapkan terima sebesar-besarnya karena saya banyak mendapat ilmu dari beliau, bukan hanya ilmu akademik tetapi juga ilmu menjadi ibu yang baik. Di luar dugaan, beliau juga mengucapkan terima kasih pada saya dan mendoakan saya sukses dalam karier sebagai dosen di UNY. Beliau juga minta doa karena pekan depan akan berangkat ke Amerika. Saya berkaca-kaca saat itu, tapi saya tahan dan saya tumpahkan setelah saya berpamitan.
Saya belajar satu ilmu lagi dari beliau: mengapresiasi dan mengekspresikan rasa kasih pada mahasiswa bimbingan itu tidak akan menurunkan harga diri sebagai dosen. Saya catat itu. Semoga bisa saya praktikkan untuk mahasiswa-mahasiswa bimbingan saya.
Bersyukurlah Pak Anies, ada ibu yang hebat di sisi beliau. Ibu yang doa tulusnya tak putus-putus terlantun untuk beliau. Ibu yang air matanya tak pernah kering untuk beliau. Ibu yang dukungannya tak pernah habis untuk beliau. Salam hormat untuk Ibu yang pernah menjadi dosen pembimbing saya: Ibu Prof. Dr. Aliyah Rasyid Baswedan.
Yogyakarta, 15 Maret 2020
[ind]