KADANG itu cuma masalah hati dan keberanian, tapi saya super salut kepada yang namanya relawan. Mereka sudah kayak ibu asuh para pengungsi.
Mereka mengurusi semuanya. Masak untuk orang banyak, memberi obat, membuat tenda, menjadi tempat berkeluh kesah, menghibur pengungsi yang berduka tanpa pamrih.
Bahkan, jarang mandi karena mengutamakan air untuk para pengungsi.
Mereka tidak sempat berhias diri. Aku tidak pernah melihat relawan yang suka selfie. Dan relawan itu rata-rata jujur. Banget.
Uang bergelimpangan miliaran di depan mata dibawa menggunakan tas plastik tapi amanah banget deh. Tidak ada yang mengambil satu rupiah pun.
Super amanah. Padahal mereka juga tidak digaji. Bahkan ada kemungkinan kehilangan kerjaan.
Ya iyalah meninggalkan kerjaan seminggu bahkan sebulan bahkan berbulan-bulan. Bisa digantung oleh bos.
Aku pernah melihat di Aceh ketika Tsunami tahun 2004. Ada relawan FPI dipotong tangannya lantaran membusuk karena beliau baik hati tidak sabaran ingin menolong.
Maka, beliau mengangkat mayat yang menggelembung di jalanan. Lalu menguburkan mereka tetapi lupa memakai sarung tangan sehingga tangan kanannya membusuk.
Baca Juga: Mam Fifi Salurkan Hewan Kurban Seberat 1 Ton
Saya Super Salut kepada Relawan
Aku ingat waktu ke Aceh, 6 hari setelah Tsunami. Banyak orang bolak-balik tetapi semuanya diam dan sedih. Hanya ada orang-orang kerja dan kerja.
Macam-macam rupanya. Ada yang gondrong, yang kekar dan yang pakai baju koko. Semua sibuk dalam diam tapi kerja dan kerja.
Sebagian terdampar di airport. Mereka rindu keluarga ingin segera pulang tetapi pesawat jarang tersedia. Jadi menunggu giliran sampai sebulan baru boleh pulang. Menunggu pesawat yang balik arah terlebih dahulu.
Risiko juga di mana-mana ada mayat. Mau jalan kesandung mayat. Mayat yang sudah menggelembung tapi tidak bau karena terendam air laut yang bersifat garam. Jadi tidak benyek dan tidak bau.
Mereka juga tidak takut. Aku sendiri bingung kok tidak takut ya. Oh… rasa kasihan mendominasi.
Apalagi melihat anak-anak tidak ada bapak dan ibu. Setiap hari di posko ada foto korban yang susah ditemukan ditempel di dinding.
Semua mencocokkan apakah itu anggota keluarganya. Jujur, yang paling gesit TNI, Relawan PKS dan FPI.
Lalu, kalau makan, yang tersedia cuma ikan. Mahal sekali satu piring mencapai Rp60.000 sehingga oleh ketua regu kami hanya boleh makan satu kali sehari.
Tidak bisa membayangkan ini-itu karena lauknya cuma ikan. Dari lauk ikan tersebut, kita bisa membayangkan tuh ikan makan mayat kalau dibayangkan bisa muntah. Jadi sambil makan mikirin yang lain.
Aku ini relawan ex Aceh tahun 2004 tapi yang aku lakukan cuma bawa dana bantuan, meng-organize, bantu masak, mengobrol untuk menghibur pengungsi yang seringnya melamun lalu menangis,
membawa modul belajar, membawa perlengkapan mewarnai, dan lain-lain.
Lalu mengajak anak-anak bernyanyi dan main serta cerita untuk menghibur.
Oh… aku tidak tahu itu namanya therapy healing pasca gempa. Tidak lupa juga lagu serta yel-yel aku ciptakan,
“Apa kabarmu hari ini? Alhamdulillah, luar biasa, Allahu akbar!”
Seru dan haru. Aku sanggup loh tanpa toa teriak-teriak mengatasi 100 -150 anak pengungsi. Cerita di atas bukit. Sungguh luar biasa.
Bukan cuma aku, tapi ada juga guru-guru JISc yang sekarang menjadi guru senior. Bahkan menjadi kepsek di JISc dan JIBBS.
Sebutlah Ustaz Badru, Teacher Azure, Miss Nur, Ustaz Yazeed, Ustaz Khotib, Teacher Lina dan Ustaz Sumardi. Bahkan, salah satu di antara mereka dilamar sama kepala suku di Aceh untuk anak gadisnya.
Kami tinggal di Aceh lama. Gantian. Aplusan. Para guru mengajar di Aceh sebulan lalu balik untuk saling bergantian. Paling cepat dua minggu dan paling lama 3 bulan.
Aku nekat saja tidak kenal siapapun langsung gabung dengan sesama relawan. Datang saja langsung. Kerja dan kerja.
Kemudian, ketika sudah tenang dan masa recovery serta masa pembangunan dimulai, ada gedung besar untuk anak-anak yatim yang kami bina.
Di situ aku sedih karena hasil kerjaku diakui orang dan anak-anak didikku diambil dan diserahkan pada sekolah lain yang lebih punya nama.
Waktu itu, JISc belum terkenal, lalu kami pun pulang. Sedihlah biar bagaimanapun 4 bulan sangat berkesan tapi aku harus tinggalkan begitu saja diambil alih orang.
Namun kemudian, aku mendengar yayasan tersebut meninggalkan sekolah di Aceh yang aku rintis lalu anak-anaknya sudah pergi ke mana-mana. Diambil untuk disia-siakan.
Ya takdirullah, tapi di atas semua itu, menjadi relawan sangat menyenangkan. Malam tidur dengan pengungsi lalu ketika ada gempa susulan melihat tembok miring banget deh seperti lempengan kue goyang-goyang.
Harusnya aku keluar rumah tapi tidak pengalaman, masih bodoh, jadi diam saja. Aku tidur di gedung yang sudah runtuh setengah beralaskan tilam tipis tidak tahu milik siapa.
Kalau sudah seperti itu, biasanya tidak ada egois. Semua saling memberi.
Pokoknya, jadi relawan itu enak banget dan berkesan sekali. Itu panggilan jiwa dan itu tidak ada yang bisa melarang.
Rasa iba dan kasihan pada pengungsi, anak-anak dan membayangkan kondisi mereka membuat kita ingin segera berlari dan tinggal bersama mereka lebih daripada rasa takut pada datangnya gempa susulan.
Ini saja Uwak dari keluarga besar pada tanya, “Kamu bener mau ke Lombok? Ngapain sih cari mati? Kan baru gempa semalam?”
Aku jawab, “Kalau semua orang takut ke sana, siapa yang akan menolong mereka?”
Doakan aku kuat ya teman-teman. Aku memang tidak sekuat dulu.
Dulu waktu jadi relawan Aceh itu sekitar 14 tahun lalu, masih muda, masih lincah, masih bisa lompat pagar, mudah-mudahan sekarang masih sekuat dulu.
Yang jadi masalah cuma satu, yaitu toilet. Ah… nanti saja memikirkannya.
Jadi relawan itu menyenangkan tapi kalau tidak siap ya jangan. Meskipun ada cinta. Jadi kita tidak bisa memaksa. Ayuk ke Lombok, kamu kan pemimpin. Gak bisa mesti ada cintah.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya.
Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi (aib)nya pada hari Kiamat.”
(HR. Bukhâri (no. 2442 dan 6951), Muslim (no. 2580) dan Ahmad (2/91), Abu Dâwud (no. 4893), at-Tirmidzi (no. 1426), dan Ibnu Hibbân (no. 533) dari Sahabat Ibnu ‘Umar)
(Catatan Mam Fifi, Agustus 2018)
By: Fifi P. Jubilea, S.E., S.Pd., M.Sc., Ph.D.
(Founder JISc, JIBBS, JIGSC)
Website:
https://ChanelMuslim.com/jendelahati
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jisc.jibbs.10
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter:
https://twitter.com/JIScnJIBBs
Tiktok: