KEYAKINAN diri atau self efficacy adalah fondasi penting dalam membangun ketangguhan, manajemen diri, dan semangat untuk berkembang.
Hal ini pula yang menjadi pondasi utama bagi Sri Yusriani, lulusan Magister Manajemen Universitas Terbuka (UT), yang berhasil meraih penghargaan sebagai Mahasiswa Magister Terbaik UT 2024.
Dalam perjalanannya, ia tidak hanya meneliti variabel self efficacy, tetapi juga menemukan harmoni antara teori psikologi Barat dan nilai-nilai spiritual Islam dalam kitab Ishlahul Qulb karya Dr. Amr Khalid.
Baca juga: Cerita Sri Yusriani Raih Mahasiswa Terbaik UT Meski Harus PJJ dari Denmark
Menyatukan Ilmu dan Hati: Dari Bandura ke Ishlahul Qulb
Menurut Albert Bandura (1977), self efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan dalam konteks tertentu.
“Variabel ini ternyata sejalan dengan konsep ishlahul qulb — yaitu kerja hati. Meski Bandura tidak menyisipkan unsur agama, saya melihat bahwa kepercayaan diri dan kesadaran hati saling berkaitan,” ungkap Sri.
Bagi Sri, membaca kitab Ishlahul Qulb bukan sekadar pengobat luka batin, tetapi juga titik tolak penting dalam memaknai ulang perjalanan hidup dan akademiknya.
Ia meyakini bahwa dalam Islam, kerja fisik dan kerja hati berjalan beriringan. Misalnya, dalam ibadah salat yang menuntut keikhlasan, bukan sekadar gerakan.
“Itu semua kerja hati. Manajemen diri itu sejatinya kerja qalbu,” ujarnya.
Riset dan Proses: Ketika Kehidupan Menjadi Laboratorium Nyata
Perjalanan akademik Sri tidak lepas dari berbagai ujian hidup. Kehilangan ibunda tercinta menjelang keberangkatannya ke Kuala Lumpur menjadi pukulan hebat.
“Mama saya biasa membaca tulisan saya sebelum saya publikasikan. Saat beliau wafat, saya kehilangan semangat. Tapi saya kembali menulis, membaca kitab-kitab tazkiyatun nafs, dan menyusun kembali puzzle kehidupan saya.”
Sri masuk UT pada semester 1 tahun 2022 dan lulus pada semester 1 tahun 2024. Ia menyelesaikan riset bertema self efficacy dan peer support dalam konteks online distance learning.
Penelitiannya diterbitkan dalam berbagai forum ilmiah dan jurnal internasional, seperti konferensi industri di Dubai dan Universitas Negeri Jakarta. Bahkan, ia menjadi best presenter pada Juni 2024.
“Self efficacy bukan hanya soal optimisme. Ini tentang bagaimana kita mengelola diri, waktu, dan emosi dalam mencapai tujuan. Jangan sampai kita ingin mengubah lingkungan, tetapi justru belum mampu mengatur diri sendiri,” jelasnya.
Antara Spiritualitas dan Sains: Membangun Diri dari Hati
Sri menolak istilah seperti hypnotherapy jika tidak dikaitkan dengan dasar spiritual yang kuat.
“Saya melihat bahwa orang-orang yang kuat dalam manajemen hati—dari berbagai agama—tidak mudah dihipnotis. Itu menunjukkan pentingnya kekuatan nurani dan kesadaran batin.”
Pengalamannya yang mendalam juga membawanya menyadari bahwa self efficacy adalah jembatan antara berbagai kebudayaan dan sistem nilai.
Ia mencontohkan prinsip atma dan dharma dalam Hindu, atau mindfulness dalam Buddhisme, sebagai bentuk keselarasan spiritual dengan konsep keyakinan diri dalam psikologi modern.
Berjejaring dan Berdaya: Kolaborasi dalam Dunia Akademik
Sebagai peneliti aktif, Sri tak hanya fokus pada riset individu. Ia membangun jejaring dengan rekan-rekan lintas negara dan lintas agama. Ia menjadi moderator, timekeeper, dan pembicara dalam berbagai konferensi internasional.
Penelitiannya pun terus berkembang, salah satunya mengangkat isu work stress di perusahaan Denmark, hingga pengaruh virtual team dalam efektivitas kerja.
“Kolaborasi sangat penting. Anak-anak muda yang pandai bekerja sama lebih sukses dibanding yang hanya belajar sendiri,” katanya.
Sri juga menyoroti pentingnya motivasi dalam menyelesaikan studi.
“Motivasi terbesar saya adalah menyelesaikan apa yang belum selesai. Saya tidak mau mengulang kesalahan di jenjang S-1, yang hanya belajar di waktu sisa. Kali ini, saya belajar dari awal dengan penuh kesungguhan.”
Keseimbangan Peran dan Dukungan Lingkungan
Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa, peneliti, dan aktivis sosial, Sri tetap menjalankan tanggung jawab sebagai ibu dan pendamping keluarga.
Ia juga aktif di Palang Merah Internasional (IPRC Denmark) untuk mendampingi pengungsi dari Ukraina.
“Kami tidak hanya memberikan bantuan, tapi juga menenangkan jiwa mereka. Self efficacy dibutuhkan juga dalam membantu orang lain,” ujarnya.
Sri menekankan pentingnya dukungan lingkungan.
“Saya punya sahabat yang membangunkan saya sahur saat kuliah online, ada juga profesor dan kolega yang sangat suportif. Tanpa mereka, saya mungkin tak sanggup.”
Inspirasi untuk Generasi Muda
Sebagai ibu dari lima anak, Sri ingin menjadi teladan bahwa pendidikan tinggi bukan penghalang, melainkan jalan untuk memberi lebih banyak. Ia berharap generasi muda tidak hanya mengejar gaya hidup digital, tetapi juga menghargai proses pembelajaran, nilai, dan kedalaman ilmu.
“Saya ingin menyatukan generasi baby boomer, milenial, hingga Gen Z. Belajar tak mengenal usia. Pendidikan itu bukan soal gelar, tapi soal kebermanfaatan,” katanya.
Menatap Masa Depan: Misi Menjadi Agen Perubahan
Kini, Sri melanjutkan pendidikan ke jenjang Ph.D. di Universiti Sains Malaysia. Ia berharap bisa memperkuat kompetensinya di bidang manajemen dan menjadi agen perubahan di lingkungan kerja maupun masyarakat global.
Dengan mengintegrasikan nilai self efficacy, spiritualitas, dan keilmuan, ia ingin menyumbangkan solusi nyata, khususnya dalam pengembangan sumber daya manusia.
“Proses belajar ini indah. Saya tidak ukur dari hasil semata, tapi dari perjalanan yang penuh makna. Keyakinan diri yang kuat dan hati yang bersih adalah fondasi untuk menghadapi tantangan hidup.”
Tips dari Sri Yusriani:
- Manajemen Waktu: Susun prioritas dan hindari hal yang tidak penting.
- Motivasi Diri: Ingat kembali tujuan awal dan jangan mudah tergoda distraksi.
- Komunikasi Terbuka: Sampaikan batasan dan jadwal kepada keluarga dan kolega.
- Adaptasi Teknologi: Gunakan teknologi sebagai sarana belajar, bukan pelarian.
- Dukungan Sosial: Bangun komunitas belajar yang suportif, meskipun hanya virtual.
- Konsistensi: Belajar sedikit tapi rutin lebih baik daripada belajar mendadak.
Dengan segala lika-liku hidupnya, Sri Yusriani telah membuktikan bahwa self efficacy bukan hanya teori psikologi, melainkan kekuatan nyata untuk bangkit, berkembang, dan menginspirasi.
“Kita mungkin bukan siapa-siapa bagi dunia. Tapi bisa jadi, kita adalah alasan seseorang untuk tetap hidup hari ini.” — Sri Yusriani.
[ind]