PUASA Ramadan hampir memasuki pekan ketiga. Coba dimuhasabah apakah puasa sudah on the track atau belum.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa betapa banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala, kecuali lapar dan haus saja.
Karena itu, yuk dimuhasabah agar puasa yang penuh perjuangan ini tidak berakhir sia-sia.
Lima tanda berikut ini mungkin bisa menjadi alat bantu, apakah puasa kita sudah benar atau belum.
Pertama, adanya kedekatan atau taqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala.
Puasa atau tidak itu tidak ada yang tahu. Kecuali Allah dan orang itu sendiri. Dengan kata lain, puasa melatih kita untuk senantiasa dekat kepada Allah.
Dalam sebuah hadits Qurdsi, Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Puasa itu untukku. Dan Aku yang akan membalasannya.”
Jadi, puasa itu begitu spesial. Seolah orang yang berpuasa tidak ada lagi hijab atau penghalang antara dirinya dengan Allah subhanahu wata’ala. Begitu dekat.
Nah, coba periksa diri kita apakah merasa sudah dekat dengan Allah. Ciri orang yang dekat dengan Allah, antara lain malu bermaksiat karena selalu merasa dilihat Allah.
Kedua, makin bijak dan tidak egois dan emosional.
Puasa itu artinya menahan nafsu. Dan nafsu selalu mengajak kepada yang “menyenangkan”. Seperti, ingin makan dan minum sepuasnya, tidak ingin terikat dengan aturan agama, dan lainnya.
Selain itu, nafsu juga memposisikan diri empunya sebagai tuan yang tidak pernah salah, tuan yang harus lebih tinggi dari yang lain, dan sebagainya.
Coba diperiksa apakah sifat-sifat ini sudah bersih, masih ada, atau memang tak pernah berubah.
Ketiga, makin cinta dengan ibadah.
Bulan Ramadan itu menjadikan segala kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Ada yang digandakan sepuluh kali, seratus, dan seterusnya.
Hal ini melatih kita untuk cinta dengan ibadah. Orang yang cinta tidak pernah enggan bertemu dengan yang dicintai, yaitu ibadah.
Nah, coba diperiksa gimana shalat kita, zikir, tilawah, qiyamul lail, sedekah, zakat, dan lainnya. Apakah kita makin rajin dan exited atau malah sebaliknya: malas dan ogah-ogahan.
Keempat, menjadikan diri disiplin.
Coba perhatikan bagaimana ketatnya perhatian kita tentang waktu saat di bulan Ramadan. Terutama waktu Subuh dan Magrib.
Sebegitu ketatnya, sampai-sampai hampir semua rumah memasang jadwal shalat di tempat yang mudah dilihat. Mereka menyebutnya jadwal puasa.
Itu artinya, puasa melatih kita untuk disiplin. Harus tepat waktu. Karena kalau telat, risikonya bisa nggak makan dan minum alias lapar dan haus karena ketinggalan sahur.
Lima, makin empati dengan orang miskin.
Puasa memaksa kita untuk merasakan bagaimana rasanya lapar dan haus sepanjang hari, setiap hari selama satu bulan.
Hal itu menjadikan kita bisa merasakan betapa tidak enaknya kehidupan orang fakir miskin. Di saat bersamaan, timbul empati untuk membantu mengurangi kesusahan mereka.
Karena itulah, Allah subhanahu wata’ala mensyariatkan zakat. Dengan begitu ada “penyaluran” positif dari pengalaman lapar dan haus itu untuk kemaslahatan orang-orang yang membutuhkan.
Nah, coba diperiksa, apakah ada empati itu atau biasa-biasa saja. Dan yang empati tidak selalu harus orang berkecukupan. Orang yang kekurangan pun bisa lebih besar sedekahnya dari orang kaya. [Mh]