CINTA itu dari mata turun ke hati. Nah, di sinilah repotnya. Karena hati sulit melupakan sesuatu.
Ada nilai yang berbeda antara cinta menurut Islam dan yang lainnya. Dalam Islam, cinta pria dan wanita ada saat sudah menikah. Sementara yang lainnya, justru sebaliknya.
Tapi, bagaimana jika sudah terlanjur jatuh cinta. Yaitu, cinta yang datang dari interaksi secara kebetulan, atau cinta yang datang dari pandangan sepintas.
Misalnya, di tempat kerja, di lingkungan rumah, dalam pertemuan keluarga besar, atau di lingkungan sekolah dan kampus.
Nah, di sinilah titik persimpangan antara Islam dan lainnya. Dalam Islam, jika ada kesukaan terhadap seseorang, maka diteruskan ke jenjang pernikahan. Dan tentu saja, jalan ini yang paling selamat dan berkah.
Sementara, menurut selain Islam, pria dan wanita seperti dianggap boleh untuk melakukan tindakan ‘gerilya’. Sebagian orang menyebutnya pacaran. Selain dilarang Islam, cara ini juga bisa berakibat fatal.
Kita tinggalkan dulu yang tentang pacaran. Kita lebih perdalam yang melalui cara Islam. Meskipun akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan, tapi itu kan masih keinginan sepihak. Bagaimana jika yang disasar tak setuju?
Dalam Islam, prosedurnya jelas. Yaitu, dengan mengajukan langsung ke pihak wali wanita. Jika dapat lampu hijau, proses dilanjutkan ke persetujuan wanita.
Jika wali tak setuju, cari calon yang lain. Nah, jika caranya dengan pacaran, kasus penolakan wali ini akan mempersulit proses yang baik. Karena keridhaan orang tua adalah segalanya untuk seorang anak.
Tapi jika penolakan datang dari pihak wanita, sementara walinya setuju, mungkin saja proses masih bisa lanjut. Yaitu, dengan bantuan pihak wali. Hanya prosesnya saja yang lebih lambat.
Sebagian ulama bahkan ada yang membolehkan akad nikah yang tanpa persetujuan wanita. Hanya wali dan calon pengantin pria, plus saksi-saksi.
Rujukannya ada. Yaitu, pernikahan antara Khalifah Umar bin Khaththab dengan putri Ali bin Abi Thalib yang bernama Ummu Kultsum. Tapi, Ali bin Thalib bukan ayah sembarangan. Begitu pun dengan Ummu Kultsum yang sangat mentaati kebijakan ayahandanya.
Toh akhirnya, rumah tangga Umar bin Khaththab radiyallahu anhu dengan Ummu Kultsum berjalan baik. Meskipun awalnya Ummu Kultsum sempat kaget. Sejarah tentang kisah ini memang sangat menarik.
Tapi, bagaimana jika si wanita tetap menolak? Nah, jika dengan cara Islam, pembatalan bisa saja dilakukan. Karena kedua calon memang tidak saling ada ‘ikatan’. Keduanya bisa beralih ke calon yang lain, tanpa beban.
Justru jika salah satunya sulit ‘move on’, itu menandakan adanya masalah. Dan hal itu harus segera diluruskan untuk kemudian dicari penggantinya. Jangan dibiarkan dia putus harapan.
Kasus semisal ini pernah dialami sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang juga anak angkat Nabi.
Nabi pernah menjodohkan Zaid dengan Zainab yang juga sepupu Nabi. Kisah perjodohan ini begitu dramatis. Bahkan sempat disebut dalam Al-Qur’an yang mulia. Memang bukan sekadar tentang pernikahannya, tapi tentang hukum anak angkatnya.
Singkatnya, sepertinya Zainab tidak mengira kalau lamaran Nabi terhadap dirinya ditujukan untuk anak angkatnya, yaitu Zaid bin Haritsah. Bukan lamaran untuk Nabi.
Tapi akad nikah akhirnya sudah berlangsung. Karena penolakan dari Zainab, maka Zaid pun akhirnya menceraikan istri yang baru dinikahinya itu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus membantu Zaid untuk menemukan istri yang cocok. Dan ketemulah dengan seorang muslimah yang sekufu dengan Zaid. Ia adalah Ummu Aiman.
Dari pernikahan Zaid dengan Ummu Aiman ini, Allah menganugerahkan keduanya seorang anak yang luar biasa. Anak itu bernama Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. [Mh]