ChanelMuslim.com – Memasuki awal pandemi, desainer batik asal Yogyakarta Iffah Maria Dewi sempat terbersit upaya untuk meninggalkan usaha busana batik yang kala itu dianggap tidak prospektif lagi. Pasalnya, selama tiga bulan berturut-turut, penjualan busananya anjlok sampai 50 persen. Namun, memasuki 2021, permintaan mulai menggeliat kembali.
Sebagai upaya efisiensi, Iffah mengurangi pembelian bahan baku. Tujuannya, untuk menekan harga jual busana batik di pasaran agar tetap terjangkau masyarakat yang daya belinya merosot.
Dengan cara itu, ia berharap tetap mampu menghadirkan batik dengan material katun berkualitas dengan desain yang nyaman.
Masker di saat pandemi menjadi sangat penting bagi pemiliknya, maka saat itu Sogan Batik Rejodani sempat mengalihkan konsentrasi sejenak pada pembuatan 1.000 masker untuk dibagi secara cuma-cuma bagi masyarakat. Aksi amal itu kemudian berbuah keberuntungan karena ia kemudian memperoleh pesanan sekitar 2.000 masker.
Meski mendapat pesanan ribuan masker, hal itu tidak bertahan lama. Iffah dan karyawannya kemudian kembali lagi berfokus merancang beragam aneka busana batik dengan mengikuti selera masyarakat yang lebih banyak tinggal di rumah seiring dengan maraknya penerapan work from home (WFH) di berbagai instansi pemerintahan maupun swasta.
Pernak-pernik pelengkap bahan baku pun dikurangi dan menjadi lebih sederhana. Busana batik sogan yang memiliki desain semi formal kemudian lebih diarahkan agar nyaman dipakai di rumah sekaligus di luar rumah.
Pada masa pandemi, seluruh gaya hidup berubah, pelaku Sogan Batik Rejodani menyadari bahwa promosi secara langsung di luar jaringan (offline) tidak lagi memungkinkan ditempuh. Maka sebagian besar penjualan dilakukan secara online. Media sosial menjadi pilihan yang dapat dimanfaatkan secara gratis maupun berbayar.
Iffah mengaku tidak mempermasalahkan dengan perubahan konsep itu. Karena, jauh sebelum pandemi, 90 persen penjualan dan promosi telah dilakukan secara online, khususnya menggunakan media sosial Instagram.
Penggunaan media sosial, baginya, tidak jauh berbeda dengan membeli toko secara riil. Hanya saja untuk membangun toko daring, biayanya lebih banyak dialihkan untuk ongkos sumber daya manusia (SDM) sebagai operator yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi.
Dengan cara membuka toko online, Iffah justru mampu menjangkau pelanggan secara lebih luas tak sebatas lokal atau dalam negeri saja. Selain itu, berbagai ragam desain yang ditawarkan juga dapat dilihat secara keseluruhan secara mendetail sehingga lebih mampu menyentuh minat calon pembeli.
Iffah, desainer busana batik asal Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus berinovasi dan berkreasi pada masa pandemi. Keduanya menjadi sangat penting untuk menjaga kualitas seiring upaya efisiensi bahan pembuatan batik. Puluhan desain yang dihasilkan Iffah dikelompokkan menjadi empat tema koleksi yang salah satunya diberi judul “ayem ayom”.
““Ayem ayom” dimaksudkan sebagai pengingat, khususnya bagi kaum perempuan untuk senantiasa menjadi “ayu, ayom, ayem, dan tentrem” (ayu, mengayomi, tenang, dan tenteram) menghadapi kemelut apa pun dalam kehidupan duniawi, khususnya menghadapi pandemi ini,” jelas Iffah, dilansir Antaranews, Ahad (28/2/2021).
Iffah mengatakan bahwa desain busana batik tak sekadar urusan keindahan. Lebih dari itu, desain harus mampu memotivasi para penggunanya saat menghadapi situasi krisis seperti saat ini.
Salah satu cara yang ditempuh pendiri Sogan Batik Rejodani iffah untuk menggaet minat atau selera masyarakat adalah dengan menciptakan desain-desain yang baru.
Upaya yang ditempuh Iffah untuk mempertahankan usaha busana batiknya didukung sepenuhnya oleh Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik Titik Purwati Widowati.
Menurut Titik, sebagian besar perajin batik di Tanah Air tetap bertahan karena dunia batik berkaitan dengan passion atau kesukaan.
Selain itu, Balai Besar Kerajinan dan Batik yang berkantor di Yogyakarta selama ini terus mendorong perajin batik di seluruh penjuru Nusantara tetap eksis di tengah pandemi dengan mengoptimalkan berbagai teknologi yang telah disediakan tanpa bergantung dengan bahan baku impor.
Agar tetap terserap pasar, Titik juga menyarankan para pengusaha atau perajin busana batik lebih mengedepankan desain dengan tema yang sederhana sehingga lebih mudah diterima dan bisa ditekan harganya.
Ia juga meminta para perajin busana batik melakukan diversifikasi produk. Tidak melulu pada produk busana, tetapi bisa merambah pada masker, sajadah, atau taplak meja.
Bisnis fesyen batik cenderung tidak tergoyahkan oleh pandemi karena produk tekstil impor saat ini masih dihambat masuk sehingga masyarakat cenderung lebih suka menggunakan produk dalam negeri. Buktinya, capaian ekspor batik pada periode Januari-Juli 2020 justru mencapai 21,54 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau meningkat dibanding pada semester I 2019 senilai 17,99 juta dolar AS.[ind/Walidah]
sumber: antaranews