ChanelMuslim.com – Sebanyak 50 orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 50 persen atau Rp1.200 trilyun APBN atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Anggaran tersebut dikelola atau terkoneksi oleh jejaring bisnis yang mereka miliki.
Hal itu disampaikan oleh Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachri Aidulsyah dalam webinar bertajuk “Mengidentifikasi Peraturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Pertautan Turunannya pada Sektor Sumber Daya Alam, Ahad (14/3/).
Baca Juga: Kisah Sederhana Orang Terkaya Asia
Orang Terkaya Menguasai 66,96 persen Aset dalam Sistem Jasa Keuangan
“Kepemilikan modal (kapital) sangat mudah mempengaruhi kebijakan-kebijakan strategis di Indonesia. Hal ini terjadi sejak era Indonesia merdeka. Dari sekitar 1200-an triliyun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia pada tahun 2011, sekitar 50 persen anggaran tersebut dikelola atau terkoneksi oleh jejaring bisnis lima puluh orang terkaya di Indonesia,” ujar Fachri atau yang akrab disapa Adul tersebut.
Fachri menambahkan, pada 2017, penguasaan aset di dalam sistem jasa keuangan (perbankan, e-commerce, dsb), 48 grup konglomerasi menguasai sekitar 66,96 persen aset dalam sistem jasa keuangan tersebut. Konglomerat tersebut, di antaranya Chairul Tanjung dan Aburizal Bakrie, yang saat ini juga adalah pemilik usaha pada sektor media dan juga batu bara.
Sebagian besar dari mereka sudah hadir, berjejaring dan menjadi bagian dari klien Soeharto sejak Orde Baru (Orba), dan kebangkitan konglomerat tidak jauh dari sektor tambang pada tahun 1960-an akhir. Sebagian besar kesuksesan gurita bisnis mereka dimulai dari penguasaan terhadap sektor tambang.
Hal paling penting, kata Fachri, ketika berbicara tambang dan oligarki, tentu kita tidak lepas dari pertautan sejarah, tentang negara, pasar dan rakyat, lalu berkaitan dengan krisis, pandemi, bencana dan sebagainya.
“Seringkali, krisis, pandemi, dan bencana alam tersebut dijadikan penguasa sebagai alat untuk menciptakan UU atau kebijakan yang sensitif bagi kehidupan ekonomi politik masyarakat,” lanjutnya.
Menurut pegiat Marepus Corner itu, persoalan deregulasi terjadi sejak era Soeharto, yang dipengaruhi oleh persoalan krisis yang menimpa saat itu.
Pada persoalan disaster capitalism (bencana atau krisis), kanal kapitalis melakukan transformasi diri untuk semakin mengukuhkan kekokohan bisnis ekonomi politik mereka atau kanal oligarki mereka.
“Di antaranya yang terjadi di Indonesia ini adalah pandemi Covid-19 untuk mengesahkan UU Cipta Kerja dan cepatnya proses pengesahan revisi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dalam rangka menguntungkan tujuh perusahaan minyak dan gas (migas) terbesar di Indonesia,” jelasnya.
Baca Juga: Ketika Si Miskin Membiayai Orang Kaya
Pengaruhi Praktik Pemilihan Umum
Pertautan oligarki dan kroni kapitalisme ini juga berhubungan dengan dukungan pada praktik Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Tujuannya dalam rangka melanggengkan aktivitas bisnis mereka.
“Realita pemilu 2019 yang menciptakan politiasasi masyarakat yang begitu besar. Kedua kubu Prabowo – Jokowi memiliki pertautan ekonomi bisnis yang sama, meski di publik mereka bersaing secara politik, namun di belakang, mereka saling berkolaborasi dalam menjalankan aktivitas bisnis mereka,” tutupnya.
Sementara itu, Direktur Utama Lembaga Kajian Hukum KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Mira Fajri mengatakan bahwa deregulasi merupakan konsepsi yang bisa mewakili ruh dari UU Cipta Kerja.
Terkait dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10/2021 tentang Minuman Keras (Miras), lalu pada (02/03) Perpres tersebut dicabut.
“Berdasarkan Perpres tersebut diketahui bahwa sebenarnya konsepsi Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan salah satu instrumen deregulasi dalam UU Cipta Kerja sehingga industri Miras dalam UU Cipta Kerja ini masuk dalam bidang usaha yang terbuka,” jelasnya.
Nurfadli, salah satu peserta webinar berpendapat, “Pengesahan UU Cipta Kerja terbukti menjadi persoalan deregulasi, intriks dan hegemonik telah mengeksploitasi beberapa sektor. Ini bukan sekadar kebijakan, lebih dari itu menjadi alat pemersatu bagi kelas oligarki di negeri ini.” [ind/DR]