ChanelMuslim.com- Senin lalu, DPR mengesahkan Undang-undang Sapu Jagat (Omni Bus Law) Cipta Lapangan Kerja atau kaum buruh menyebutnya dengan Undang-undang Cilaka. Sebutan ini sebagai ungkapan kekecewaan bahwa klaster ketenagakerjaanlah yang paling dirugikan dari sebelas klaster dalam UU itu.
Sebelas klaster yang termuat dalam UU itu adalah Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi.
Menkopolhukam menyebut, nantinya UU sapu jagat ini akan merevisi 83 UU yang telah berlaku sebelumnya. Luar biasa. Inilah kali pertama republik ini mengesahkan UU yang begitu luas cakupannya. Sekitar 2.517 pasal terkandung dalam UU ini.
Menariknya, meski berbobot jumbo, UU ini melalui proses pengesahan yang luar biasa cepat. Sejak diajukan ke DPR di awal Januari lalu, kurang lebih sekitar 9 bulan UU ini akhirnya disahkan. Padahal di luar negeri, proses pengesahan UU jumbo ini bisa memakan waktu tahunan.
UU ini pun dinilai cacat partisipasi publik terutama pihak-pihak yang terkait seperti buruh. Pada Juni lalu, sejumlah organisasi buruh keluar dari tim teknis perumusan UU ini karena organisasi pengusaha mereka nilai tidak kooperatif.
Pada Agustus organisasi buruh disertakan lagi, tapi mereka kecewa dan keluar lagi karena sejumlah sinyalemen. Hal ini ketika mereka mengajukan pertanyaan pamungkas. “Saat pembentukan tim kerja, perwakilan kami bertanya apakah nanti draft yang disusun bersama dengan kami nanti akan jadi rujukan dan pegangan sah di DPR, pemerintah bilang: tidak, ini hanya menampung saran. Jadi memang sudah setengah hati dan nggak niat,” kata ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah, seperti dilansir Tempo.
Sejumlah aturan yang dinilai serikat buruh sangat merugikan pekerja antara lain, UU sebelumnya menyebut pesangon minimal 32 kali sementara di UU ini menyebut maksimal 25 kali. UU sebelumnya menyebut outsourcing hanya untuk 5 bidang pekerjaan, tapi di UU ini tidak jelas. Begitu pun dengan hari kerja yang dibolehkan 6 hari, serta soal cuti kerja yang dikurangi.
Dengan kata lain, UU ini seperti menuntut pekerja untuk maksimal dalam memikul beban, tapi minimal dalam hak yang mereka terima dari perusahaan. Padahal sejatinya, posisi pekerja dan pengusaha memiliki kesetaraan. Jika tidak, yang terjadi adalah eksploitasi terhadap pekerja yang disahkan oleh negara.
Proses bim salabim dalam UU ini mengingatkan publik dengan UU KPK yang kini telah berlaku. Hanya dalam waktu 15 hari, pembahasan UU yang sangat kontroversi ini rampung. Hitungan ini dimulai dari rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 3 September 2019, berbarengan dengan pembahasan usulan revisi untuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (biasa disebut UU MD3) sampai pada pengesahan UU KPK yang baru tanggal 17 September 2019.
Persoalannya adalah UU KPK boleh jadi kurang menyentuh rakyat bawah karena hanya dipahami kaum aktivis di kalangan anti korupsi dan akademisi. Tapi UU Cilaka ini melibatkan sebagian besar rakyat Indonesia terutama sektor pekerja dan juga mahasiswa yang akan menjadi calon pekerja.
Namun begitu, pemerintah dan DPR sama sekali tidak merasa kalau UU ini akan merugikan rakyat terutama pekerja. Justru sebaliknya, mereka menamakan UU ini sebagai pencipta kerja. Dengan disahkannya UU ini, pemerintah dan DPR justru bangga dan yakin akan tercipta lapangan kerja baru.
Mereka bahkan menyebut akan ada omnibus-omnibus law lain yang akan siap dibahas dan diberlakukan. Yaitu, RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, serta RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Sejumlah kalangan menilai, disahkannya UU ini pertanda matinya Nurani pemerintah dan DPR. Karena UU ini terkesan sangat menguntungkan kaum pengusaha dan merugikan kaum pekerja yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia.
Kalau parlemen yang sejatinya sebagai wakil rakyat dalam mengelola kebijakan sudah “mati” nurani. Boleh jadi, tak ada cara lain untuk membela hak pekerja selain turun ke jalan. Tujuan aksi mereka satu: batalkan UU Cilaka. (Mh)