ChanelMuslim.com- Dua pekan ini, jalan-jalan utama di sebagian besar kota besar di Indonesia tak bisa dilalui kendaraan umum. Mulai dari Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makasar, Palembang, termasuk juga Jakarta.
Polisi sengaja menutup jalan-jalan utama yang mengakses kantor dewan perwakilan rakyat di kota-kota tersebut karena adanya massa aksi mahasiswa dalam jumlah ribuan.
Sudah dua mahasiswa yang tewas dalam aksi tersebut, puluhan mengalami luka, dan lainnya berada di penjara darurat kepolisian masing-masing daerah.
Rakyat mulai dipertontonkan dengan aksi dan reaksi yang silih berganti tampil di layar televisi. Tanpa sadar, semua memamerkan kompetensi masing-masing pihak, siapa pun mereka. Hal ini, bisa melahirkan krisis kepercayaan terhadap para pejabat.
Dampak lain yang lebih besar, kekhawatiran investor yang terus-menerus dipertontonkan dengan tayangan ketidakstabilan politik, sosial, dan keamanan.
Kalau satu atau dua hari, mungkin tak menjadi soal. Tapi kalau tiap hari, akan memunculkan hal baru dalam alam bawah sadar mereka. Bahwa, Indonesia sangat beresiko sebagai tempat investasi.
Jadi, mau sampai kapan krisis ini berlangsung? Bisa dibilang tidak ada kejelasan. Karena masing-masing pihak, mahasiswa dan pejabat mulai berada pada dua titik yang saling berjauhan. Dan, pemisah dua titik itu adalah krisis kepercayaan.
Tuntutan utama mahasiswa dan pelajar yang selama ini turun ke jalan sepertinya sangat sederhana: cabut revisi undang-undang KPK dan RKUHP bermasalah.
Untuk tuntutan yang kedua, mungkin hampir mendapat kejelasan. Presiden dan pejabat terkait sudah menyatakan bahwa pengesahannya akan ditunda. Walaupun, pihak mahasiswa meminta bukan sekedar ditunda, tapi dibatalkan.
Hal ini seperti yang juga disampaikan pakar hukum Universitas Andalas, Ferri Amsari dalam sebuah dialog dengan media bahwa istilah ditunda tidak ada dalam hukum. Yang ada disahkan atau dibatalkan.
Namun, puncak dari semua tuntutan adalah pencabutan revisi UU KPK yang baru disahkan DPR. Dan untuk yang satu ini, solusi hukumnya ada tiga.
Pertama, parlementary review, judicial review, dan Perppu. Untuk yang pertama sudah tidak mungkin, karena DPR sudah tegas menyatakan tidak ada yang salah dengan revisi UU KPK.
Untuk yang kedua, dua hari lalu, pihak mahasiswa sudah mengajukan hal itu ke Mahkamah Konstitusi. Tapi, pihak mahkamah meminta pihak mahasiswa untuk memperbaiki gugatan. Pasalnya, revisi UU KPK ternyata belum mempunyai nomor.
Tinggal Perppu yang masih menjadi harapan. Bukan hanya mahasiswa dan aktivis, sejumlah pakar tata negara juga mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Perppu untuk revisi UU KPK.
Syarat utama dikeluarkannya Perppu seperti yang diatur undang-undang adalah adanya kegentingan yang memaksa. Dan ukuran itu merupakan subjektif presiden.
Pekan lalu, di tengah suasana berkecamuknya aksi demo mahasiswa dan pelajar, kepada media massa, presiden menyampaikan akan mempertimbangkan dikeluarkannya Perppu.
Hari terus berganti, aksi baru datang melanjutkan aksi sebelumnya; tapi Perppu tak kunjung datang. Yang muncul justru penolakan dari pihak partai pengusung utama presiden, yaitu PDIP.
Melalui sekjennya, PDIP menegaskan bahwa revisi undang-undang KPK adalah pilihan yang paling konstitusional untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Penegasan dari partai pendukung utama inikah yang menjadi pertimbangan paling dominan yang kini dihadapi presiden? Hal itu belum dijawab secara jelas oleh pihak istana.
Kini, sejumlah pakar pun memberikan ulasan tentang makna kegentingan yang memaksa sehingga Perppu bisa dikeluarkan. Kegentingan menurut mereka adalah keadaan yang sangat darurat.
Jadi, kalau Perppu membutuhkan pertimbangan waktu sampai beberapa hari, sepekan, bahkan lebih; mungkin hal itu bukan sebuah kegentingan. Atau, mungkin itulah jawaban yang ingin disampaikan pihak istana: nggak ada yang genting kok?
Kalau itu yang menjadi jawaban, publik dan masyarakat harus berlapang dada untuk aksi-aksi yang mungkin akan terus terjadi. Semoga tidak lebih buruk dari yang sebelumnya. (Mh)