ChanelMuslim.com- Umat Islam dunia memasuki tahun baru hijriah 1442. Sebuah momen yang pas untuk menguji arah perjalanan selama ini. Apakah arahnya sudah benar, atau melenceng tak tentu tujuan.
Sebuah hikmah dari Allah, umat Islam memiliki tahun barunya sendiri. Hal yang tidak dialami di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam juga masa khalifah Abu Bakar ash-shiddiq. Beberapa tahun masa khalifah Umar bin Khaththab, umat Islam menyepakati tahun tersendiri. Tidak mengikuti apa yang berlaku di dunia.
Patokan awal tahun itu merujuk pada hijrah Nabi saw. dari Mekah ke Madinah. Bukan dari tahun kelahiran Nabi, bukan dari tahun turunnya wahyu pertama kali, bukan pula tahun saat Nabi wafat.
Patokan awal tahun pada peristiwa hijrah menunjukkan nilai tersendiri. Yaitu, adanya semangat perubahan yang ingin dilakukan umat Islam terhadap keadaan dunia. Sebuah perubahan yang didasari nilai dakwah: minazh zhulumat jahiliyah ilan nuuril Islam, dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.
Hasilnya, dengan izin Allah, sangat fantastis. Hampir separuh dunia tiba-tiba dalam kekuasaan Islam. Termasuk takluknya Kekaisaran Persia yang berabad-abad sebelumnya sebagai salah satu penguasa dunia jahiliyah di samping Romawi.
Perubahan demi perubahan terus diperjuangkan hingga pada masa Sultan Muhammad Al-Fatih kekuatan Romawi lumpuh. Di tahun 1453 itu, spirit hijrah kian terus menyala yang menghasilkan singgasana Bizantium di Istanbul beralih menjadi pusat kekhalifahan Islam waktu itu.
Dari sinilah, Islam merambah pelosok Eropa yang primitif. Sebuah benua yang kala itu terkungkung dalam keserakahan raja-raja kecil dan pola pikir yang jauh dari peradaban besar. Barulah Eropa berubah setelah mereka menggali ilmu dari kaum intelektual muslim di Andalusia.
Dunia mana pun tak ada yang membantah bahwa peradaban dan science yang kini diagungkan kawasan mana pun merupakan warisan tak ternilai umat Islam. Islam mengubah watak primitif orang Arab menjadi sosok baru yang beradab dan penuh hikmah. Islam juga mengubah wajah Eropa yang primitif penuh mistik menjadi sosok baru yang beradab dan cinta pengetahuan.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak seorang pun yang membantah bahwa spirit hijrah umat Islam telah mengantarkan negeri ini menuju gerbang kemerdekaannya. Seribu satu kisah kepahlawanan bangsa ini telah diisi oleh pemuda-pemudi Islam yang gagah berani. Selama berabad-abad seolah tak ada kisah lain kecuali tentang kepahlawanan mujahid anak-anak negeri ini.
Kisah itu terpampang jelas mulai dari kawasan di utara, Aceh, hingga di ujung timur Indonesia waktu itu, Maluku. Spirit inilah yang menyatukan bangsa yang dipisah-pisah oleh laut, lembah, gunung, dan suku ini. Spirit untuk mengeluarkan bangsa ini dari gelapnya peradaban jahiliyah yang dibawa para penjajah kepada cahaya Islam tentang wajah Indonesia yang diidamkan.
Kini, negeri ini tidak lagi dalam kungkungan penjajah secara awam. Tapi, tidak demikian jika dilihat dari orientasi dan nilai yang secara sistematis ingin dikembangkan. Indonesia seperti terombang-ambing dalam tiupan angin negara adidaya. Kalau tidak ke Amerika dan Eropa, mungkin ke Rusia. Kalau tidak ke Rusia mungkin ke Cina.
Nilai yang ingin dikembangkan pun seolah menunjukkan bahwa Islam tidak lagi menarik menjadi rujukan. Islam seolah menjadi ajaran yang tak lagi relevan. Bahkan, seperti ajaran yang perlu diwarpadai karena mengajarkan intoleransi dan radikalisme.
Kalau tidak mau merujuk ke Islam, lalu kemana bangsa ini ingin diarahkan? Setelah bangsa ini merdeka, seolah ada kekuatan besar yang ingin meninabobokkan generasinya dengan kebesaran kerajaan-kerajaan di nusantara sebelum Islam datang. Sebuah sejarah yang hanya diada-adakan.
Islam di negeri ini, umumnya tak lebih dari sekadar daun pisang, yang dikait orang lantaran diri tak berpayung ketika hari hujan. Manakala hujan usailah sudah, daun itu pun dicampakkan, diinjak pula orang nan lalu.
Inilah makna hijrah yang terpampang besar di hadapan generasi muda bangsa ini. Memisahkan Islam dari jatidiri bangsa adalah kemunduran besar. Dan memalingkan wajah negeri ini ke tiupan “angin surga” Cina atau Amerika adalah penyimpangan dan pengkhianatan cita-cita luhur bangsa ini.
Sejatinya perubahan dipahami bukan datang dari luar generasi ini. Perubahan harus dilakukan oleh kita sendiri. Itulah di antara makna hijrah yang saat ini ingin digali. Bukan sekadar ritualitas yang sama sekali tak memiliki gigi. (Mh)