ChanelMuslim.com- Minyak goreng benar-benar membuat emak-emak melakukan “gerilya”. Mereka mencari minyak goreng kesana-kemari, tapi hasilnya belum menenangkan. Padahal mereka mencari sejak pagi hingga malam, ke berbagai mini market.
Janji pemerintah yang akan mematok harga minyak goreng sebesar 11 ribuan hingga 14 ribuan ternyata belum berhasil. Bukan sekadar tentang harganya, tapi minyak gorengnya pun sulit didapatkan.
Sejumlah mini market kerap dikunjungi emak-emak yang menanyakan hal yang hampir sama, “Minyak gorengnya kosong ya?”
Kenyataannya, di rak yang biasa minyak goreng bertengger hanya terdapat tulisan harganya saja. Tapi barangnya kosong. Ketika ditanya ke kasir, ia menjawab, “Bukannya kosong, tapi kalau barang datang langsung habis.”
Dengan kata lain, pemerintah tak mampu menjangkau jumlah ketersediaan barang dengan aturan harga yang dipatok. Cara ini sangat tidak efektif menstabilkan harga minyak goreng.
Kini, pemerintah dikabarkan menjanjikan akan menerapkan cara kedua. Yaitu, dengan mewajibkan produsen untuk menyetor kebutuhan domestik sebelum dijual ke luar negeri. Besarannya 20 persen. Dikabarkan, cara ini akan berlaku mulai Februari. Kita lihat saja esok.
Cara ini mengingatkan publik dengan kasus yang terjadi di Batubara. Sepertinya halnya sawit, Indonesia juga dikenal sebagai penghasil Batubara terbesar dunia.
Namun, publik akhirnya terperanjat ketika tiba-tiba ada aturan larangan ekspor batubara di awal Januari lalu. Alasannya, karena PLN kemungkinan akan mengalami krisis suplai bahan bakar yang tak lain juga berhubungan dengan batubara.
Hal ini terjadi karena para produsen lebih memilih menjual produknya ke luar negeri daripada dalam negeri termasuk PLN. Kenapa? Harga jual di luar negeri jauh lebih menggiurkan.
Akhirnya, ada ketentuan yang mirip dengan minyak goreng tadi, yaitu produsen wajib menyetor 20 persen untuk kebutuhan dalam negeri. Berhasilkah? Kita lihat saja apakah PLN memang tidak mengalami krisis energi. Semoga saja tidak.
Pengamat menilai, dua kasus ini memperlihatkan seolah pemerintah berada pada posisi lemah di hadapan pengusaha besar. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang akhirnya menjadi korban.
Miris sekali melihat dua kenyataan ini: batubara dan minyak goreng. Dua-duanya sudah diakui dunia bahwa Indonesia nomor satunya. Tapi justru, suplai dalam negerinya bermasalah.
Sekali lagi, kita lihat saja keadaan minyak goreng di bulan Februari esok. Apakah barangnya tersedia dan harganya normal. Atau, hanya akan tetap membuat emak-emak terus “bergerilya”. [Mh]