KASUS Tumbler di Commuter Line menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini di media sosial. Founder Komunitas Ibu Melek Digital Indah Puspita Rukmi mengingatkan bahwa viral belum tentu baik.
Kasus hilangnya sebuah tumbler di commuter line diunggah ke media sosial, menjadi viral, dan berujung pada pemecatan si pemilik tumbler dari tempat kerjanya menyisakan pembelajaran bagi kita.
Apa yang awalnya hanya keresahan personal, berubah menjadi bola salju yang besar—menelan reputasi, pekerjaan, dan martabat seseorang.
Kasus ini bukan pertama, dan bukan yang terakhir. Namun ia menjadi pengingat keras untuk kita semua: sekali sebuah postingan menyebar, kendali bukan lagi di tangan kita.
Ketika Emosi Mengalahkan Logika
Kita hidup di era ketika ponsel ada di genggaman dan upload menjadi refleks otomatis setiap kali kecewa, tersakiti, merasa tidak adil, atau bahkan hanya ingin didengarkan.
Namun satu pertanyaan penting sering terlewat: Apakah masalah ini harus diselesaikan dengan publikasi, atau dengan komunikasi?
Dalam kasus tumbler tadi, postingan dibuat karena si pemilik merasa dirugikan. Tetapi setelah diunggah, publik mengambil alih kendali: menghujat, menelusuri identitas pihak lain, menyebarkan data pribadi, dan menekan berbagai pihak yang terlibat.
Hasilnya? Bukan keadilan, melainkan kerusakan berantai: reputasi tercoreng, kesehatan mental terganggu, hubungan sosial terguncang, karier seseorang berakhir dalam hitungan jam.
Dan yang lebih menyedihkan ialah: ketika semuanya terjadi, publik sudah pindah ke topik viral berikutnya.
Berani Viral, Siap Hadapi Konsekuensinya
Banyak orang merasa media sosial adalah ruang tanpa konsekuensi — padahal justru sebaliknya.
Sebuah postingan bisa menjadi: bukti hukum, dasar pemecatan, pemicu doxing, pemantik cyberbullying, dan ancaman bagi privasi orang lain.
Begitu suatu postingan viral, ada tiga hal yang tak bisa diambil kembali:
1. Jejak digital
2. Opini publik
3. Akibat bagi orang lain
Kita tidak dapat mengontrol bagaimana publik menafsirkan pesan, memperbesar isu, atau menekan pihak tertentu.
Mengapa Kita Harus Lebih Bijak?
Karena media sosial memberi kekuasaan besar — dan kekuasaan itu membutuhkan tanggung jawab.
Kita perlu bertanya sebelum mengunggah: apakah ini fakta atau asumsi? Apakah saya sudah menyelesaikan melalui jalur komunikasi langsung? Apakah dampaknya akan merugikan pihak lain? Apakah saya siap menanggung konsekuensinya?
Kita tidak hanya membangun citra digital untuk diri kita sendiri, tetapi juga ekosistem literasi yang ditiru oleh anak-anak, remaja, dan masyarakat.
Bukan Tidak Boleh Mengeluh, Tapi Pilih Cara yang Baik
Jika ingin menyampaikan kritik atau keluhan, ada cara yang lebih sehat dan produktif, misalnya: laporkan ke pihak berwenang atau saluran layanan resmi, tulis pesan japri dengan sopan, sampaikan fakta, bukan emosi, hindari menyebut nama, foto, instansi, atau data pribadi.
Mengubah keluhan menjadi pembelajaran jauh lebih bermanfaat daripada menjadikannya bahan konsumsi massa.
Baca juga: 3 Kota Besar di Indonesia Segera Bangun Transportasi Massal
Dari Share ke Care
Sebagai ibu, orang dewasa, dan pengguna internet, kita punya peran membangun budaya digital yang lebih beradab, yaitu budaya tabayyun sebelum percaya, budaya empati sebelum bereaksi, budaya edukasi sebelum viralisasi.
Karena pada akhirnya, tujuan media sosial bukan untuk mempermalukan, melukai, atau menghancurkan orang lain — tetapi untuk terhubung, berbagi manfaat, dan membangun ekosistem digital yang lebih manusiawi.
Mari jadikan kasus tumbler ini sebagai pengingat:
“Tidak semua yang terjadi perlu dipublikasikan, dan tidak semua yang viral membawa kebaikan.”
Saat jari ingin menekan tombol post, tanyakan pada diri sendiri:
“Apakah ini menyelesaikan masalah—atau hanya melampiaskan emosi?”
Karena di era digital, bijak bukan lagi pilihan. Ia adalah kebutuhan.[ind]



