PADA Rabu (11/09/2024), Aula Imam Al-Ghazali, Institut for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), kembali ramai dengan murid Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta dalam pertemuan keenamnya.
Kali ini, tema yang diangkat adalah Konsep Diin.
Akmal Sjafril, Kepala SPI Pusat sekaligus peneliti INSISTS, membuka perkuliahan dengan sebuah pertanyaan yang tajam, “Apa itu agama?”
Pertanyaan ini bukan sekedar retorika.
Akmal membedah konsep agama, terutama dalam konteks perang pemikiran masa kini.
Ia membahas kisah turunnya surat Al-Kafirun sebagai pintu masuk untuk memahami bahwa meski banyak orang berbicara tentang agama, pada kenyataannya, mereka mungkin merujuk pada makna yang berbeda-beda.
“Orang bisa saja membicarakan agama, tapi apa yang mereka maksud belum tentu sama,” ujarnya.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Kritik tajam Akmal tak terhindarkan ketika ia menyebut kelompok liberal yang sering memandang rendah agama.
“Orang liberal itu delusional,” tegas penulis Islam Liberal 101 tersebut di hadapan murid SPI Jakarta 14.
Ia menambahkan, “Mereka seringkali mengklaim bahwa semakin pintar seseorang, semakin jauh ia dari agama. Seolah-olah agama menghalangi kecerdasan, tapi yang terjadi justru sebaliknya, tanpa agama manusia kehilangan arah, kehilangan adab, bahkan kemanusiaannya.”
Dalam membantah klaim tersebut, pria yang dikenal sebagai pendiri #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) ini tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi juga menyuguhkan analisis mendalam tentang makna agama dalam Islam.
Berdasarkan penelusuran dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Akmal menjelaskan bahwa agama (diin) mengandung makna dan konsep yang kompleks seperti hutang (dayn), kreditor (daa’in), penghukuman (daynuunah), dan kota (madiinah).
SPI Jakarta: Agama, Jawaban atas Klaim Delusional Orang Liberal
Baca juga: Agar Punya Dampak Positif, Murid SPI Jakarta Belajar Menulis Berita
“Mungkin terlihat tidak berhubungan, tapi semua ini merujuk pada pengaturan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dan bagaimana manusia harus bersikap dalam kehidupan,” jelasnya.
Dengan gaya penyampaiannya yang tegas dan lugas, penulis buku Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme itu menutup perkuliahan dengan memberikan jawaban konkret terhadap tuduhan-tuduhan yang kerap dilemparkan oleh kaum liberal, bahwa agama tidak hanya sekedar tradisi atau kepercayaan kosong, melainkan panduan hidup yang komprehensif dan beradab.
Sebagai bentuk refleksi, Akmal menambahkan, “Manusia itu pelupa, hatinya mudah berbolak-balik, dan imannya naik turun. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan agama sebagai pengingat, agar kita selalu kembali ke fitrah kita, bisa memahami adab, dan berlaku adil, terutama terhadap diri kita sendiri.”
Salah satu murid SPI Jakarta, Said, memberikan tanggapannya usai perkuliahan, “Malam ini, saya jadi lebih paham tentang makna agama. Dari kecil, beragama itu sebatas karena lahir dari orang tua yang beragama Islam.”[Sdz]