PESANTREN 4.0, teknologi canggih tapi tidak ada santri neurodivergen, ditulis oleh Nur Hidayat*.
Pertanyaan yang terus mengganggu saya ketika mengunjungi pesantren teknologi: siapa yang tidak ada di sana?
Di salah satu pesantren teknologi di Indonesia, laboratorium, kelas coding, dan platform digital untuk menghafal Al-Qur’an. Tapi ada yang aneh. Di tengah kemajuan teknologi itu, saya tidak melihat satu pun santri dengan profil neurodivergen, padahal justru merekalah yang sering memiliki bakat luar biasa di bidang yang menjadi spesialisasi pesantren ini.
Selama riset lapangan, saya melakukan wawancara mendalam dengan kepala pesantren, guru, santri, dan orang tua, sebagian via komunikasi daring ketika kepala sekolah mengirimkan pertanyaan terstruktur. Dari situ saya membangun satu skenario hipotetis untuk menguji inklusivitas mereka.
Saya menyusun pertanyaan: “Bayangkan ada calon santri spektrum autisme tingkat tinggi yang sudah menjuarai olimpiade robotika nasional. Apakah pesantren ini akan menerimanya?”
Jawaban kepala pesantren jujur sekaligus menyakitkan:
“Kami sangat mengagumi bakatnya. Tapi kami belum punya guru pendamping khusus, belum ada ruang sensory, dan sistem asrama 24 jam kami belum siap kalau ada santri yang kadang butuh waktu sendiri atau stimulasi berbeda. Kami takut malah menyusahkan anak itu.”
Dia menambahkan: “Kami terbuka kok, Bu. Tapi realitasnya belum mampu.”
Baca juga: Santri Film Festival Resmi Dibuka, Ratusan Pesantren Bergerak dalam Satu Semangat Berkarya
Ketika Viral Bukan Cuma Angka
Itu bukan satu-satunya cerita. Pada Agustus 2025, sebuah cuitan di platform X viral dengan puluhan ribu views. Isinya: seorang siswa diduga berkebutuhan khusus (seperti ADHD atau autisme) hampir dikeluarkan dari sekolah karena “mengganggu”, namun orang tua ragu memindahkannya ke pesantren karena takut hal serupa terulang. Alasan klasik: khawatir anak tersebut “mengganggu teman-temannya di asrama”.
Di kolom balasan, ratusan orang tua berbagi pengalaman serupa, penolakan dari institusi pendidikan, termasuk pesantren teknologi yang seharusnya lebih adaptif. Bukan hanya pesantren salaf, bahkan pesantren “modern” yang bangga dengan label teknologinya.
Data yang Menyakitkan
Kementerian Agama per Oktober 2025 mencatat 42.391 pesantren aktif di Indonesia. Dari jumlah itu, pesantren yang memiliki program inklusif terstruktur untuk anak berkebutuhan khusus masih sangat minim, berdasarkan berbagai laporan dan riset lapangan, diperkirakan tidak lebih dari beberapa puluh pesantren dari puluhan ribu yang ada.
Pesantren teknologi, yang jumlahnya terus bertambah pesat, justru termasuk yang paling minim fasilitas pendukungnya: tidak ada GPK (guru pendamping khusus), tidak ada protokol asesmen, tidak ada quiet room, infrastruktur tidak aksesibel.
Pesantren 4.0: Teknologi Sudah Canggih, Tapi Pintu Masih Tertutup untuk Santri Neurodivergen
Ironisnya, secara ilmiah, anak neurodivergen sering kali unggul di bidang yang jadi spesialisasi pesantren teknologi.
Simon Baron-Cohen, profesor psikologi perkembangan di University of Cambridge yang meneliti autisme selama puluhan tahun, membuktikan melalui teori “empathizing-systemizing” (2003) dan “hypersystemizing” bahwa individu dengan autisme cenderung memiliki kemampuan luar biasa dalam pemikiran sistematis, logika komputasional, dan pengenalan pola, persis kompetensi inti untuk coding, robotika, dan AI. Banyak engineer Silicon Valley berada di spektrum ini.
Di Indonesia, talenta itu kita buang.
Realitas di Lapangan: Antara Bakat dan Penolakan
Dalam riset ini, beberapa cerita orang tua muncul berulang kali dengan pola yang sama:
• Seorang anak ADHD di SD dianggap “bermasalah” karena tidak bisa konsentrasi, sering nyoret-nyoret buku sebagai coping mechanism, dan menangis karena lingkungan ramai, padahal unggul di pelajaran lain jika diberi penyesuaian.
• Seorang ayah (cerita viral Oktober 2025) menulis: “Anak saya autis, juara 2 lomba robotika nasional SMP. Tapi ditolak pesantren teknologi karena ‘belum siap menangani anak spesial’. Akhirnya masuk pesantren biasa, bakatnya mati.”
Di pesantren teknologi, kasus serupa bisa lebih parah karena asrama 24 jam tanpa dukungan, santri yang butuh ruang tenang, rutinitas terstruktur, atau sensory break tidak punya tempat berlindung.
Ini Bukan Soal Niat Buruk
Para pengasuh pesantren yang saya temui selama riset selalu ramah, terbuka, dan tulus ingin berbuat baik. Mereka hanya terkendala sistem: dana terbatas, guru belum terlatih, paradigma lama yang masih mengutamakan keseragaman.
Padahal solusinya sederhana dan murah:
1. Latih 2–3 Guru per Pesantren
Tentang autisme dan ADHD, bisa gratis lewat psikolog kampus setempat via program pengabdian masyarakat.
2. Buat Satu Ruang Tenang di Asrama
Gunakan teknologi yang sudah ada jadi assistive tools: visual schedule, noise-cancelling headphone, text-to-speech. Tidak perlu ruang mewah, cukup sudut yang tenang.
3. Ubah Formulir Pendaftaran
Tambahkan kolom: “Kebutuhan khusus apa yang dibutuhkan anak Anda?” bukan “Apakah anak Anda akan mengganggu?”
Satu perubahan kalimat itu mengubah perspektif dari eksklusif menjadi inklusif.
Pilihan Ada di Tangan Kita
Pesantren teknologi sedang menulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Mereka bisa jadi pelopor yang benar-benar merangkul semua anak, termasuk yang otaknya “berkabel berbeda” tapi bakatnya luar biasa.
Atau mereka hanya akan jadi versi modern dari institusi eksklusif: robotnya canggih, tapi pintunya masih sempit.
Pilihan ada di tangan kita sekarang.[ind]
*Penulis: Nur Hidayat (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar)


