oleh: Nuim Hidayat
ChanelMuslim.com – Bangsa Indonesia belum banyak yang sadar tentang pentingnya makna sejarah. Padahal sejarah adalah hal yang sangat penting dalam pembentukan masa depan bangsa dan identitas bangsa.
Sejarah dalam kurikulum pendidikan bangsa kita sejak dari SD sampai dengan Perguruan TInggi, banyak diwarnai sekulerisasi. Maksudnya identitas Islam yang merupakan mayoritas bangsa ini, sengaja disingkirkan dalam penulisan sejarah. Maka jangan heran para pelajar lebih mengenal Gajah Mada daripada Pangeran Diponegoro. Lebih mengenal Borubudur dan Prambanan dari pada Kerajaan Demak, Samudra Pasai atau Kitab-Kitab karya para ulama atau cendekiawan Islam ternama dahulu.
Belanda (Barat) meski telah meninggalkan Indonesia dari segi penjajahan militer, tapi dari segi penjajahan pendidikan, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain masih meninggalkan bekas yang mendalam. Para pelajar kita kebanyakan masih kagum dengan peradaban Barat yang sekuler dan materialistik. Mereka lebih kagum terhadap bangunan-bangunan yang indah (Borobudur dan Prambanan) daripada buku-buku yang bermu tu peninggalan para ulama. Seperti banyak orang Mesir yang lebih kagum bangunan Piramida daripada peninggalan ajaran Nabi Musa yang mulia. Padahal peradaban buku kualitasnya jauh lebih tinggi daripada peradaban candi.
Padahal kalau kita lihat Al Quran, para ahli Al Quran menyatakan ‘lebih dari sepertiganya isinya tentang sejarah’. Diantara fungsi sejarah ini, Al Quran menyatakan,” Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran 138). Di ayat ini, Al Quran memberi petunjuk sejarah itu fungsinya memberi penjelas, petunjuk serta pelajaran bagi orang yang bertaqwa.
Buku karya Dr Suidat yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia untuk Pelajar ini (yang diterbitkan Yayasan Pendidikan Islam at Taqwa Depok) adalah salah satu karya yang penting untuk menumbuhkan kecintaan para pelajar kita terhadap sejarah perjuangan dan peradaban Islam di tanah air kita.
Buku ini diawali dengan penjelasan tentang kedatangan Islam di Indonesia. Islam pertama kali datang ke Indonesia adalah datang dari Arab, bukan dari Gujarat, Persia atau Cina.
Dr Suidat memaparkan,”Bukti-bukti sejarah yang kuat menunjukkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Islam disebarkan di Indonesia oleh para pendakwah yang berasal dari negeri Arab (Mekkah dan Mesir). Bukti-bukti yang menunjukkan kedatangan Islam dari negeri Arab adalah:
1. Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 M, di pantai Barat Sumatera sudah ada perkampungan Islam (Arab).
2. Raja-raja Samudera Pasai menggunakan gelar al Malik. Gelar tersebut berasal dari Mesir.
3. Kesultanan Samudra Pasai yang didirikan tahun 1275 atau abad ke-13, bukan awal masuknya Islam ke Nusantara, akan tetapi agama Islam sudah berkembang pada saat itu.
Menurut Thomas Arnold, sebagaimana dikutip Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah: “Walaupun di Madinah dan Mekkah sering terjadi peperangan dari 1-11 H/622-623M. Namun keadaan itu tidak memutuskan perdagangan kaum Muslimin ke wilayah-wilayah lain antara Timur Tengah, India dan Cina. Apalagi setelah perang tersebut berakhir pada masa Khulafaur Rasyidin (11-41H/632-661M) kontak perdagangan semakin lancar.”
Ahli sejarah yang mendukung bahwa Islam datang dari Negeri Arab ini diantaranya adalah Hamka, A Hasymi, Syed Muhammad Naquib al Attas dan yang lainnya.
Pandangan dan bukti sejarah ini menunjukkan tahun tertua datangnya Islam ke Indonesia, yaitu sejak masa Khulafa al Rasyidin. Dengan demikian pendapat ini dapat dijadikan pegangan. Sebab kalau membahas tentang masalah ini (kapan datangnya Islam ke Nusantara) tentunya tahun awal yang lebih kuat, apalagi didukung oleh bukti-bukti sejarahnya yang cukup.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru dijelaskan bahwa diantara sumber yang menjelaskan tentang datangnya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 dan dari Arab terdapat dalam kitab “Ajaib al Hindi”.
Di dalam kitab tersebut Al Romahurmuzi menunjukkan terdapat sejumlah Muslim pribumi di kalangan penduduk kerajaan Sriwijaya. Riwayat tersebut dibenarkan oleh Chau Ju Kua (seorang penulis China) yang menjelaskan bahwa sejumlah besar penduduk San Fo Chi (Sriwijaya) memiliki nama awal P’u. Istilah ini berasal dari Bu, singkatan dari Abu (Bapak) yang terdapat dalam nama pribadi orang-orang Muslim.
Melihat fakta dan bukti sejarah ini, maka pada masa selanjutnya tidak mustahil jika Islam disebarkan di Indonesia oleh para dai (pendakwah) dari Persia, Gujarat dan Cina. Karena Islam adalah agama dakwah dan bagi setiap Muslim wajib untuk menyebarkannya (berdakwah).
Pada saat itu, kaum Muslimin sudah menyadari bahwa berdakwah adalah suatu kewajiban yang mesti dilakukan. Sebab berdakwah adalah bagian dari perintah agama. Dan inti dakwah itu bukan hanya menyeru untuk berbuat baik (amar makruf), tetapi juga melarang perbuatan mungkar (nahi mungkar).” (hal 4-6).
Di halaman selanjutnya, Sekretaris Jenderal Pesantren at Taqwa Depok ini menjelaskan tentang kedatangan dan penjajahan bangsa Portugis dan Belanda. Ia menjelaskan,
“Portugis adalah salah satu bangsa Eropa. Portugis merupakan sebutan untuk suatu penduduk atau orang yang berasal dari Portugal. Dalam sejarah Indonesia, Portugis pernah menjajah bangsa Indonesia. Tujuan pokok awalnya adalah ingin menguasai perdagangan Nusantara dan ingin mendapatkan rempah-rempah untuk kepentingan ekonomi mereka. Karena Indonesia dikenal kaya dengan rempah-rempahnya. Tujuan lainnya adalah untuk menyebarkan agama Kristen (Igreja).
Jadi ada tiga tujuan besar negara penjajah datang ke Indonesia yaitu: Ingin menguasai perdagangan rempah-rempah (Freitoria), penaklukan (Fortaleza) , dan ingin menyebarkan agama (Igreja).
Nusantara atau Kepulauan Melayu, sebutan Indonesia pada masa silam, terkenal perdagangan rempah-rempah ini diantaranya adalah Malaka dan Maluku.
Para pelaut Portugis selalu mengikutsertakan misionaris (penyebar agama Kristen) di kapal-kapal mereka. Di manapun orang-orang Portugis singgah, mereka selalu mendirikan gereja di samping benteng perdagangan mereka. Para pedagang yang ikut dalam misi penyebaran agama ini, selalu dihormati tinggi.
Seorang misionaris (penyebar agama Katolik) Franciscus Xaverius selama 15 bulan bekerja di Maluku berhasil membaptis (mengKristenkan) beribu-ribu orang. Usaha ini bukan hanya di Maluku, tetapi juga menyebar ke daerah-daerah lain. Seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Kristen Katolik berhasil disebarkan oleh para misionaris Portugis di wilayah Timur Indonesia, seperti Maluku, Sulawesi Utara, Sangir, Talaud, dan Nusa Tenggara terutama Solor dan Flores.
Penjajahan Portugis yang sejak 1511 menduduki Malaka telah menghancurkan perdagangan Indonesia bahkan Asia. Oleh karena itu terutama pedagang-pedagang Jawa (Muslim –pen) menganggap orang-orang Portugis sebagai musuh. Akibatnya tidak ada satu tempat pun di pulau Jawa yang sempat diduduki oleh orang-orang Portugis, kecuali di Jawa Timur yang hingga akhir abad ke-16 masih terdapat sebuah kerajaan Hindu Jawa yang kecil.” (hal 11-13).
Tentang penjajahan Belanda ini, Dr Suidat menjelaskan,
“Tidak hanya Portugis yang bersemangat menyebarkan agama melalui penjajahan. Belanda pun demikian, mereka punya misi yang sama dalam menyebarkan agama. Kalau Portugis menyebarkan keyakinan Katolik, sementara Belanda menyebarkan ajaran Kristen Protestan.
Dalam buku Mengkristenkan Jawa, dijelaskan bahwa Belanda datang ke Indonesia dengan membawa pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja melayani kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan (tentara) Belanda, tetapi juga mengusahakan pertaubatan orang kafir dan pendidikan Indonesia. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, usaha Belanda seperti ini dikenal dengan masa politik etis.
Sejak kedatangan VOC ke Indonesia, agama Katolik tidak diakui. VOC menerapkan peraturan bahwa dalam wilayah kekuasaan Belanda hanya ada satu agama yang diakui yaitu Kristen Protestan. Orang-orang Maluku yang sudah memeluk Katolik pada masa Portugis, dipaksa pindah ke Kristen Protestan.
Pada awal abad ke-19 terjadi pergantian beberapa pemerintahan penjajahan (kolonial) mulai dari VOC ke negara Belanda, lalu ke Inggris, lalu ke Belanda lagi. Meski terjadi pergantian seperti ini, semuanya sama-sama penjajah Kristen yang tidak disenangi penduduk Muslim Jawa. Pada saat itu pengaruh ulama dan santri terhadap masyarakat Jawa masih sangat kuat.
Oleh karena itu, ketika terjadi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830), sebanyak 108 kyai, 31 orang haji, 15 syeikh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru turut berjuang bersamanya…
Setelah menguraikan tentang dampak penjajahan (dan Kristenisasi) Belanda yang mendalam bagi bangsa Indonesia, Dr. Suidat menjelaskan tentang perlawanan para Raja terhadap penjajahan Belanda. Mulai dari Sultan Agung, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Hasanudin, Perang Palembang, Perang Diponegoro, Perang Padri, (Perang) Kesultanan Aceh hingga Sisingamangaraja dan Perang Batak.
Penulis kemudian menjelaskan tentang kebangkitan dan perjuangan organisasi-organisasi Islam Indonesia, seperti: Sarekat Dagang Islam (SDI), Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Al Irsyad al Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdhatul Ulama (NU) dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.
Tidak lupa penulis menguraikan tentang perjuangan tokoh-tokoh Islam dan pejuang Muslimah Indonesia. Antara lain : KH Ahmad Dahlan, Ahmad Hassan, KH Hasyim Asyari, Ki Bagus Hadikusumo, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Kasman Singodimedjo, HM Rasjidi, Wahid Hasyim, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Malahayati, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiah dan Rasuna Said.
Buku ini penting bagi para pelajar sekolah menengah terutama untuk membangkitkan semangat mereka dalam memperjuangkan Islam agar kembali tegak di tanah air.[ind]