Oleh: Sapto Waluyo (Founder CIR)
INI adalah kisah sinema tentang konsultan politik (Jane Bodine) yang disewa oleh seorang Presiden dari (konon) Bolivia, Amerika Latin. Presiden petahana yang tidak popular, tapi terpilih kembali karena kepiawaian Jane (diperankan oleh Sandra Bullock) sebagai ahli strategi kampanye. Kekuatan oposisi juga tak main-main menyewa ahli strategi kelas dunia, Pat Candy (diperankan Billy Bob Thornton), yang merupakan musuh bebuyutan Jane. Inti cerita, persaingan dua calon presiden di negeri dunia ketiga diotaki oleh dua ahli strategi dari negeri Paman Sam. Ada arogansi tersembunyi ala produk Hollywood.
Film garapan sutradara David Gordon Green (2015) ini berdasarkan dokumenter karya Rachel Boynton yang dirilis tahun 2005 dengan judul sama: Our Brand is Crisis. Ceritanya Pedro Castillo (diperankan Joaquim de Almeida) menyewa konsultan Amerika untuk memenangkan kompetisi pilpres tahun 2002. Jane pada mulanya tidak tertarik karena reputasi Castillo yang buruk dan membuatnya muak. Jane berubah pikiran, ketika pihak oposisi menyewa Pat. Jane mencoba berbagai strategi untuk memenangkah hati rakyat, ia tidak mengubah citra Castillo yang buruk dan temperamental. Tapi, justru menjadikan “keburukan” itu sebagai strategi menampilkan pemimpin yang tegas, melindungi rakyat dari ancaman luar negeri seperti IMF.
Lawan politik Castillo sangat berat, tokoh muda yang nyaris memenangkan mayoritas suara rakyat. Pat berupaya menjatuhkan citra Castillo dengan negative campaign, skandal masa lalunya dibongkar habis. Jane menyampaikan kepada Castillo dan para pendukungnya dengan blak-blakan, citra Castillo (our brand) sedang mengalami krisis (kepercayaan publik merosot drastik). Jane mengerahkan strategi terakhir play as victim, Castillo jadi sasaran tembak hingga akhirnya menimbulkan simpati rakyat dan memenangkan pilpres. Apakah Jane puas dengan strategi jitu yang diterapkannya? Jane harus kecewa, karena pada hari pertama pelantikannya, Presiden Castillo yang baru terpilih justru membatalkan tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi politik. Tabiat aslinya kembali otoriterian, Bolivia dilanda chaos. Jane menyaksikan rakyat Bolivia menjadi korban kekerasan dan penangkapan massif oleh aparat militer, ketika ia sedang menuju bandara untuk pulang.
Pesan utama dari kisah fiksi-dokumenter: “Itulah dunia, itulah politik. Datang dengan janji besar dan akhirnya menguap begitu saja.” Realitas sosial-politik di Indonesia tentu bukan fiksi, namun unsur dramatiknya tak kalah seru dari film Hollywood atau Bollywood.
Lihat saja krisis yang melanda instansi pemerintah seperti Kemenkeu RI. Bermula dari anarki yang dilakukan seorang pemuda (Mario) terhadap pemuda lain (David) gegara dibisikkan bahwa pacarnya (Agnes) pernah diganggu. Kebengisan Mario mungkin akan menjadi dark number (kejahatan yang tidak dilaporkan atau terdeteksi oleh Polisi), bila tak ada rekaman yang tersebar via media sosial. Semua orang ngeri menyaksikan kegilaan Mario menyiksa David yang tidak berdaya hingga koma, netizen pun marah besar. Yang tidak terduga, netizen tidak hanya membongkar siapa Mario dan mengapa sampai sebrutal itu, melainkan juga mengungkap siapa orangtua Mario dan bagaimana mereka mendidik anaknya yang bengis itu. Ayah Mario adalah Rafael Alun Trisambodo yang menjabat Kepala Bagian Umum Kanwil Dirjen Pajak Jakarta, sedang ibunya (Ernie Meike Torondek) bergaya sosialita papan atas dengan mengelola bisnis restoran.
Benar-benar seperti plot twist dalam drama Korea, perhatian publik jadi bergeser kepada Rafael yang memfasilitasi anaknya berkendara mobil mewah Rubicon (harga pasar sekitar Rp 1,7 miliar). Publik penasaran, karena pejabat eselon III Kemenkeu itu ternyata memiliki kekayaan hingga Rp 56.10 miliar, antara lain berupa 11 bidang tanah dan bangunan senilai Rp 51,93 miliar, menurut LHKPN bulan Desember 2021. Pejabat eselon III resminya bergaji pokok Rp 3-5 juta per bulan, dengan tunjangan kinerja tertinggi (pejabat struktural) bisa mencapai Rp 46 juta. Tapi, ternyata kekayaan Rafael melebihi Wapres Ma’ruf Amin (Rp 14 miliar) dan hampir menyamai kekayaan Menkeu Sri Mulyani (Rp 58 miliar). Setelah diusut, Rafael akhirnya dipecat secara tidak hormat dan kini menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang, karena berdasarkan laporan PPATK terungkap harta kekayaan Rafael bisa mencapai Rp 500 miliar alias setengah triliun rupiah! Kekayaan sebanyak itu diduga hasil pencucian uang yang tersimpan dalam 40 rekening, dengan melibatkan konsultan pajak, ahli hukum dan akuntan, termasuk para stuntman pemegang rekening dan sertifikat hak milik.
Kebengisan Mario tidak hanya membongkar aib babe dan keluarganya, tetapi juga menjadi catatan buruk (bad governance) bagi institusi Kemenkeu dan profil Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI), yang dikenal sebagai salah satu menteri keuangan terbaik (best performance) di dunia. Tidak hanya petugas dan pejabat Ditjen Pajak yang disorot, berikutnya Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta juga tertangkap netizen bergaya hidup hedonis dengan total kekayaan Rp 12,73 miliar (LHKPN 2021). Eko diketahui mengoleksi beberapa mobil antik, tapi motor gede Harley Davidson malah belum tercatat dalam laporan kekayaan. Setelah menjalani pemeriksaan, Eko dipecat dari jabatannya. Sasaran berikutnya adalah sejumlah pejabat Kemenkeu yang merangkap jabatan sebagai Komisaris di beberapa BUMN dengan gaji besar.
Kepemimpinan di Masa Krisis
Menarik untuk mencermati gaya kepemimpinan SMI dalam mengatasi krisis di Kemenkeu, dengan cara terjun langsung mengkoordinasikan penindakan dan penertiban, termasuk berkomunikasi dengan media massa dan mitra DPR RI. Lebih menarik lagi, bila dibandingkan dengan gaya kepemimpinan di institusi lain seperti BUMN Pertamina ketika menghadapi krisis sejenis. Pertamina sudah lama menjadi sorotan publik, namun kontroversi mencuat kembali tatkala terjadi kebakaran di Depo Plumpang, Jakarta Utara (3/3/2023). Insiden itu menyebabkan 33 warga tewas, 1.085 warga mengungsi dan 119 rumah rusak terbakar. Dirut Pertamina Nicke Widyawati turun tangan ke lapangan, memberikan bantuan dan menjanjikan penataan lingkungan demi keselamatan publik. Tetapi yang dituntut publik adalah tampilnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Komisaris Utama Pertamina, karena kebakaran depo Pertamina bukan pertama kali dan kemungkinan besar akan terulang kembali.
Tahun 2009, Depo Plumpang pernah terbakar, insiden lain di Balongan, Indramayu (29/3/2021), kilang minyak Cilacap, Jateng (16/11/2021), dan terkini kebakaran di kilang minyak Dumai, Riau (1/4/2023). Dalam kasus kebakaran Plumpang, Komut Ahok tidak muncul karena berhubungan dengan nasib warga kampung Tanah Merah yang berstatus illegal. Pada tahun 2012, Jokowi – Ahok bikin kontrak politik sebagai Cagub dan Cawagub DKI Jakarta dengan warga Tanah Merah akan memberi hak warga. Setelah terpilih (2013) Gubernur Jokowi memberikan status resmi kependudukan (KTP) kepada warga Tanah Merah dan membentuk RT/RW. Ahok tahu persis proses pencatatan status kependudukan itu dan melanjutkan kepemimpinan Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta (2014-2017). Pada saat Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI, hak warga dilengkapi dengan pemberian IMB kawasan (2021), bukan IMB perorangan. Dinamika kependudukan itulah yang membuat Pertamina berpikir seribu kali pasca kebakaran: apakah akan merelokasi warga Tanah Merah atau mengizinkan mereka merehabilitasi rumah yang terbakar? Ahok sebagai Komut Pertamina belum terdengar menyampaikan solusi kepada publik, sehingga Dirut Nicke yang menjadi sasaran netizen untuk dituntut mundur.
Dalam situasi krisis, langkah apa yang tepat untuk diambil seorang pemimpin? Apakah bersikap terbuka seperti SMI mengambil tanggung-jawab dari seluruh stafnya ataukah menahan diri seperti Ahok dan membiarkan anak buahnya (Dirut Pertamina) menanggung segala resiko? Perlu dicatat bahwa crisis management berbeda dengan crisis leadership. Manajemen krisis adalah protokol atau prosedur formal yang akan ditempuh organisasi/lembaga saat situasi krisis terjadi, semua tahapan sudah diatur cermat dan setiap orang sudah ditugaskan untuk melakukan tindakan tertentu yang terukur, sehingga resiko bisa ditanggulangi dan tujuan organisasi tetap bisa dicapai. Sebaliknya kepemimpinan di masa krisis menunjukkan kualitas dan nilai yang dipegang seorang pemimpin untuk mengatasi kondisi yang tidak diinginkan, meski dia tahu ada protokol/prosedur yang sudah disepakati, namun dia menjamin bahwa setiap orang menjalankan tugasnya secara efektif dan siap memberikan solusi alternatif apabila muncul faktor lain yang tidak tercantum dalam protokol. Karakter asli seorang pemimpin akan tampil justru pada saat krisis, karena dalam situasi normal dia bisa mengandalkan manajer atau staf yang bekerja rutin.
Jim Collins dan Morten Hansen, dalam bukunya Great by Choice (2011), menemukan tiga karakteristik utama kepemimpinan yang diperlukan di masa krisis yaitu: ketakutan produktif (Paranoia productive), kreativitas empiris (Empirical creativity), dan disiplin fanatik (Fanatic discipline). Mereka melakukan penelitian terhadap para pemimpin perusahaan yang berhasil bertumbuh menjadi “Great Company” di tengah kondisi industri yang kacau dan penuh ketidakpastian. Industri yang diteliti termasuk biotech, semiconductor, personal computer, dan penerbangan. Ketakutan produktif adalah kemampuan untuk bersikap waspada terhadap peristiwa-peristiwa buruk yang berpotensi menghantam kinerja lembaga, lalu kemudian berpikir jernih, mengubah ketakutan itu menjadi persiapan dan tindakan antisipatif. Seorang pemimpin tidak terpenjara oleh ketakutan, sehingga tidak berani mengambil sikap atau putusan penting.
Kreativitas empiris, yaitu kemampuan untuk secara empiris memvalidasi naluri kreatif dengan menggunakan pengamatan langsung, eksperimen praktis, dan terlibat di lapangan, daripada hanya mengandalkan opini, pendapat, asumsi, dan analisis di atas kertas. Hanya bertahan hidup (survival) tidak menghasilkan apa-apa di era ketidakpastian. Sedangkan, disiplin fanatik tidak hanya bekerja keras dan taat aturan, melainkan konsistensi tindakan terhadap nilai-nilai organisasi, tujuan jangka panjang, dan standar kinerja tinggi. Tidak peduli apakah krisis pandemi mengubah pola pikir dan pola kerja, resesi ekonomi mengancam eksistensi nasional dan global, atau sengitnya persaingan melibatkan kekuatan otoriterian dan oligarki, seorang pemimpin harus disiplin dengan menunjukkan konsistensinya terhadap visi jangka panjang dan semua tindakan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Resep Collins dan Hansen tidak hanya melahirkan Great Company, tetapi juga sekaligus Great Leader.
Tragisnya di Indonesia, situasi krisis tidak dirasakan sama oleh semua orang, dan para pemimpin tidak membangun sense of crisis secara kolektif yang memadai. Krisis justru memunculkan sikap saling menyalahkan dan mencari selamat sendiri (safety player). Krisis juga menghadirkan sikap oportunistik yang abadikan dalam pepatah “memancing di air keruh”, ada pihak yang mencari keuntungan di tengah kondisi kekacauan. Persoalan tidak terselesaikan, namun pamor dan popularitas seseorang mencuat di tengah kebingungan masyarakat. Benar-benar tragis, mayoritas masyarakat masih suka dengan fenomena hero, pahlawan yang datang di ujung kekacauan sebagai penyelamat. Padahal sesungguhnya tidak melakukan tindakan yang fundamental, hanya seremonial. Mirip seperti Rambo (Hollywood) atau Inspektur Vijay (Bollywood).
Di tengah kegalauan publik atas kemerosotan kinerja Kemenkeu, khususnya aparat pajak dan bea-cukai, serta tidak mustahil terjadi di instansi pemerintah lainnya, tetiba Menko Polhukam mengungkap transaksi janggal senilai Rp 300 triliun di Kemenkeu sepanjang periode 2009-2023. Publik makin tidak karuan pikiran dan perasaannya menyaksikan komedi para elite pejabat. Anggota DPR RI ikut meramaikan panggung memanggil Menko Mahfud dan mengkonfrontasinya dengan Menkeu SMI. Menkeu seperti biasa menjelaskan secara rinci 300 surat dari PPATK tentang transaksi janggal senilai Rp 349 triliun, ada yang sudah ditangani Kemenkeu dengan tindakan administratif, ada yang diserahkan kepada aparat penegak hukum (Kejaksaan atau KPK). Rakyat menyaksikan semua dramaturgi politik di panggung depan (front stage) dan hanya bisa menebak-nebak: apa yang terjadi di panggung belakang (back stage). Akibatnya, krisis yang melanda Kemenkeu belum terpecahkan, kini merembet menjadi krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum untuk menyelesaikan transaksi janggal. Tidak ada yang diuntungkan, kecuali figur yang namanya menjadi popular dan elektabilitasnya meroket sebagai calon wakil presiden. Ini benar-benar kreativitas yang tak pernah dibayangkan Collins dan Hansen: meroket di tengah krisis kepercayaan publik.
Citra Kandidat dan Parpol
Citra terbukti lebih penting dari perbaikan kinerja. Kasus penolakan Timnas Israel dalam laga sepakbola Piala Dunia U-20 merupakan contoh lain. Kalangan nasionalis konservatif melihat penolakan komunitas Muslim terjadap Timnas Israel telah menggeser persepsi publik tentang siapa yang benar-benar berpegang kepada amanat konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) dan membela kepentingan kemanusiaan. Pada mulanya, mereka berprinsip bahwa olahraga tidak boleh dicampuradukkan dengan politik (dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina), dan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 merupakan ajang promosi global bagi Indonesia setelah sukses menggelar KTT G-20. Tetapi setelah ormas Islam, komunitas independen dan partai oposisi (PKS) bersuara keras, situasi berbalik. Desakan massif itu bisa menyudutkan kelompok nasionalis sebagai tidak konsisten, sehingga Sekjen PDIP akhirnya menyatakan menolak kehadiran Timnas Israel di Indonesia pada Piala Dunia U-20.
Penolakan terbuka juga dilakukan Gubernur Bali (I Wayan Koster) yang akan menjadi tuan rumah drawing peserta dan Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) yang sebenarnya tidak menjadi tuan rumah secara langsung, karena yang meneken garansi keamanan penyelenggaraan adalah Walikota Solo (Gibran Rakabuming Raka). Sikap Gubernur Bali dan Jateng sejalan dengan garis kebijakan PDIP di tengah krisis kepercayaan publik, namun bertentangan dengan sikap Presiden Jokowi yang bersiap menggelar perhelatan akhir di tahun terakhir kepemimpinannya. Akibatnya, FIFA membatalkan posisi Indonesia sebagai tuan rumah dan memberi sanksi administrasi, lobi Erick Tohir selaku Ketua Umum PSSI gagal. Menteri BUMN Erick gagal mendapat panggung global, setelah sebelumnya sukses mendapat panggung nasional lewat perayaan 1 Abad NU di Sidoarjo, Jawa Timur (7/2/2023).
Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 menyulut kontroversi, tapi orang lupa bahwa PSSI memang harus berbenah diri. Proses penyelesaian terhadap korban tragedi di stadion Kanjuruhan, Malang yang menyebabkan 135 meninggal dan 700-an orang terluka masih belum tuntas. Penataan sarana stadion, perbaikan manajemen liga sepakbola dan penerapan standar keamanan serta pembinaan suporter merupakan pekerjaan rumah yang terbengkalai. Menpora Zainuddin Amali mundur setelah terpilih sebagai Waketum PSSI, namun Menteri BUMN Erick Thohir justru bertahan sebagai Ketua Umum PSSI. Isu rangkap jabatan kembali mencuat, seolah-olah ada figur di negeri ini yang kelebihan energi untuk mengurus lembaga publik. Padahal, kinerja lembaga-lembaga yang dipimpinnya tidak optimal dan masalah utama tidak pernah terselesaikan.
Nahasnya, publik tidak terlalu peduli dengan perbaikan kinerja. Diskusi bergeser jadi turunnya elektabilitas Ganjar sebagai salah seorang bakal calon presiden terkuat. Sikap ambigu Ganjar terhadap penolakan timnas Israel direspon negatif oleh para pendukungnya sendiri. Sementara itu, para ketua parpol di luar PDIP sedang membangun koalisi besar yang kemungkinan mengusung Prabowo Subianto atau Airlangga Hartarto sebagai bacapres. Presiden Jokowi ikut menghadiri dan terlihat gesture menyetujui pertemuan koalisi itu.
Tapi pesta belum mulai, Megawati mengambi langkah penyelamatan dengan mengumumkan bakal capres PDIP pada hari Idul Fitri (menurut hisab kalender Muhammadiyah) atau sehari menjelang Idul Fitri (menurut sidang itsbat Pemerintah). Elektabilitas Ganjar mungkin terselamatkan dan nasib koalisi besar jadi pertanyaan. Yang paling terpukul tampaknya Prabowo karena trauma pengkhianatan politik mungkin terulang dan kali ini dia harus berjuang sendirian. Suasana lebaran yang biasanya diisi dengan silaturahim dan saling bermaafan kini bernuansa gosip politik dan negosiasi tingkat tinggi.
Persoalan utama bagi masyarakat: apakah pembentukan koalisi gemuk versus ramping akan membawa perubahan kinerja pemerintahan? Atau sekadar bagi-bagi kuasa yang berulang setiap pemilu? Fenomena yang menyakitkan di saat kita menyambut 25 tahun gerakan reformasi. Krisis personal kandidat dan institusi parpol terselamatkan, namun krisis bangsa Indonesia dan masa demokrasi semakin mengkhawatirkan. Salah satu indikatornya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 merosot tajam 4 poin (dari 38 menjadi 34) sehingga Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 180 negara di dunia. Poin itu sama persis ketika Jokowi tampil di panggung nasional sebagai Presiden periode pertama (2014). Artinya, selama delapan tahun berkuasa, tak ada perubahan dalam isu antikorupsi. Bahkan, mungkin terjadi kemunduran. Ketua KPK Firli Bahuri kini dilaporkan dengan sejumlah pelanggaran etika dan berseteru dengan koleganya sendiri serta Kepala Polri Listyo Sigit Purnomo.
Our brand (Indonesia) is crisis. Mereka tak lagi percaya dengan formula ahli strategi atau surveyor politik. Derita rakyat sudah terobati dengan kehadiran Ida Dayak dan Pesulap Merah. [Mh]