NIKMAT itu ketika ada dan terasa. Ada yang bisa dinikmati dan nikmatnya dirasakan hati. Sementara imajinasi kenikmatannya semu dan tidak bisa dirasakan.
Kalau ditawarkan dengan uang seratus ribu nyata dengan uang satu milyar hanya dalam bentuk imajinasi, tentu siapa pun akan memilih yang nyata.
Hal ini karena yang nyata bisa langsung dinikmati, sementara yang imajinasi sama sekali tidak. Meskipun jumlahnya jauh lebih besar.
Masalahnya justru yang memberikan imajinasi adalah diri kita sendiri. Semakin banyak kita mengetahui kemewahan semakin luas daya imajinasi yang ada. Padahal kemewahannya belum nyata.
Inilah kenapa orang yang biasa hidup sederhana di desa-desa, begitu nikmat dengan apa yang mereka terima daripada orang kota yang banyak referensi imajinasi kemewahannya.
Dalam sosok yang lain, kenikmatan yang diimajinasikan seolah terasa lebih nikmat daripada yang nyata di depan mata. Orang pun mengistilahkan, “Rumput tetangga lebih indah daripada rumput rumah sendiri.”
Padahal boleh jadi, sang tetangga pun merasakan hal yang sama. Bahwa, rumput tetangganya lebih indah dari rumput rumahnya sendiri.
Dan imajinasi tentang apa yang ingin diperoleh tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada yang lebih nikmat dan menarik dari apa yang telah dimiliki.
Solusi untuk menundukkan imajinasi ini sangat sederhana. Jangan berikan bahan bakar untuk imajinasi. Yaitu, ‘menundukkan’ mata untuk tidak sering melihat yang lebih mewah dan indah.
Dalam sisi interaksi pria dan wanita, Islam mengajarkan untuk menundukkan pandangan. Sama saja, apakah sudah menikah atau masih lajang.
Hal ini untuk menjinakkan imajinasi liar tentang sosok-sosok lawan jenis. Dengan begitu, ada kepuasan hati bahwa yang paling menawan adalah suami atau istrinya sendiri. Bukan ‘rumput’ tetangga atau ‘rumput-rumput’ yang lain.
Begitu pun dengan interaksi kemewahan hidup. Jika tidak kuat iman, interaksi ini akan bisa melalaikan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu untuk ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Di sinilah bisa dipahami bahwa ujian hidup dalam bentuk kemiskinan lebih ringan daripada ujian dalam bentuk kelebihan harta. Meskipun yang terbaiknya adalah kecukupan yang sewajarnya.
Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, belum ada Baitul Maal atau kas negara. Perjuangan dakwah dan jihad dibiayai oleh masing-masing kantong sendiri. Yang bisa membeli kuda, ia berjihad dengan kuda. Tapi yang tidak mampu, ia berjihad dengan berjalan kaki.
Keadaan ini, menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jauh lebih baik daripada jika suatu saat Allah membuka pintu-pintu kemewahan untuk mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan tentang diri kalian sepeninggalku nanti, dibukakannya pintu-pintu dunia dan perhiasan-perhiasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kekhawatiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu memang akhirnya terbukti. Semakin banyak interaksi dengan kemewahan, semakin liar imajinasi tentang kenikmatan.
Ujung dari semua liarnya imajinasi itu adalah lenyapnya rasa syukur. Kita menihilkan kenikmatan yang sudah tersedia, sementara terjebak dengan kesibukan imajinasi yang tidak nyata.
Jadi, nikmati dan syukuri apa yang sudah Allah sediakan. Jangan membayangkan hal yang bukan milik kita. [Mh]