Bekerja sama dengan pemerintah untuk mencegah radikalisasi, Muslim Austria memperingatkan bahwa kurangnya kebijakan integrasi, tingginya pengangguran dan diskriminasi tetap menjadi masalah terbesar yang mendorong pemuda Muslim untuk bertindak ekstremisme.
“Integrasi adalah proses dua arah. Kedua belah pihak harus bekerja dalam hal itu. Salah satu kebutuhan untuk membuka pintu, kebutuhan lain untuk melaluinya,” ujar Imam Ramazan Demir, salah satu pemimpin Komunitas Agama Islam (Iggo) Austria mengatakan kepada Deutsche Welle pada Selasa, 3 Maret kemarin.
Desember lalu, Kementerian Keluarga Austria meluncurkan “extremism hotline” untuk melawan radikalisasi pemuda Muslim.
Setelah tiga bulan bekerja, lembaga itu menerima lebih dari 200 panggilan dari orang tua yang khawatir dengan anak-anak mereka.
Langkah ini dilakukan setelah kementerian dalam negeri mengungkapkan bahwa 130 anak muda Austria telah melakukan perjalanan untuk bergabung dengan perang di Suriah November lalu. Jumlah itu meningkat menjadi 190 pada bulan Januari, 70 dari mereka telah kembali.
Hotline ini hanya salah satu dari beberapa cara pemerintah Austria bekerja sama dengan komunitas Muslim untuk menangkis tumbuhnya radikalisme. Pemerintah juga telah menyelenggarakan 300 lokakarya terkait radikalisme di sekolah dan penjara.
Direktur extremism hotline memperingatkan bahwa banyak anak muda Muslim telah mengalami diskriminasi dan hal itu menjadi sasaran empuk radikalisasi.
Direktur extremism hotline, Verena Fabris, menceritakan pengalamannya menghabiskan hari ketika mengenakan jilbab.
Dia ingat bagaimana dia mengalami diskriminasi dua kali selama satu hari, termasuk insiden ketika dia mencari tempat duduk di kereta dan menemukan seorang wanita, yang mendorongnya ke samping sehingga dia terjatuh.
Pengalaman tersebut adalah hal yang umum bagi banyak wanita Muslim ketika berjalan di jalanan. Dan sikap seperti inilah yang akan membuat banyak anak muda Muslim akhirnya ikut kelompok radikal atau menjadi radikal.[af/onislam]