SIDANG lanjutan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menghadirkan Lesti Kejora dan Sammy Simorangkir, sebagai saksi.
Keduanya mewakili keresahan para pelaku pertunjukan yang merasa tak terlindungi secara hukum meskipun berperan besar dalam memperkenalkan karya cipta ke publik.
Gugatan ini diajukan oleh 29 musisi Indonesia lintas genre yang menuntut kejelasan posisi pelaku pertunjukan dalam UU Hak Cipta.
Dalam kesaksiannya, Lesti Kejora mengungkap pengalamannya menghadapi somasi dan laporan pidana dari pencipta lagu “Bagai Ranting yang Kering”. Lagu itu ia bawakan dalam sejumlah acara pada 2016 hingga 2018 berdasarkan permintaan panitia, bukan atas inisiatif pribadi.
Namun pada 1 Maret 2025, ia menerima somasi, dan pada 18 Mei 2025, laporan kepolisian dilayangkan terhadapnya dengan tuduhan membawakan lagu tanpa izin eksplisit dari pencipta.
“Ini merupakan bentuk nyata dari kekaburan norma dan ketidakseimbangan posisi hukum antara pencipta lagu dan pelaku pertunjukan,” ujar Lesti dalam sidang.
Lesti menilai bahwa pelaku pertunjukan seperti dirinya dapat dengan mudah dikriminalisasi hanya karena tidak mengurus izin secara langsung, meskipun dalam kenyataannya penyanyi sering kali hanya tampil atas permintaan penyelenggara acara.
Ia berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir yang adil terhadap UU Hak Cipta, sehingga pelaku pertunjukan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Baca juga: Tengah Marak AI Ghibli yang Melanggar Hak Cipta
Musisi Gugat UU Hak Cipta, Lesti Kejora Ungkap Kerentanan Penyanyi di Hadapan Hukum
Senada dengan Lesti, Sammy Simorangkir juga mengungkapkan bahwa dirinya sempat dilarang menyanyikan lagu-lagu dari band lamanya, Kerispatih, kecuali ia membayar biaya Rp5 juta per lagu. Ia menduga kebijakan itu berasal dari pencipta lagu sekaligus mantan rekannya, Badai.
Tidak hanya itu, Sammy juga menerima somasi dan diminta untuk menyerahkan 10 persen dari honor jika tetap ingin membawakan lagu tersebut secara publik.
“Saya merasa seolah-olah peran kami sebagai penyanyi tidak diakui. Lagu yang kami hidupkan melalui emosi justru menjadi sumber masalah hukum,” ujarnya.
Gugatan uji materi ini diajukan oleh sejumlah musisi kenamaan Indonesia seperti Armand Maulana, Ariel NOAH, Raisa, Rossa, Judika, Afgan, Nadin Amizah, hingga Bunga Citra Lestari.
Permohonan tersebut terdaftar pada 7 Maret 2025 dengan nomor perkara 28/PUU-XXIII/2025. Para pemohon menyoroti ketidakjelasan dan ketimpangan dalam pasal-pasal UU Hak Cipta, khususnya Pasal 9, 23, 81, 87, dan 113, yang mereka nilai merugikan pelaku pertunjukan.
Bisa Meluas ke Musisi Religi dan Nasyid
Persoalan ini tidak hanya berdampak pada musisi komersial, tetapi juga berpotensi menyeret penyanyi religi dan pelantun nasyid ke ranah hukum.
Lagu-lagu bernuansa keagamaan yang kerap dibawakan dalam acara dakwah, majelis taklim, peringatan hari besar Islam, atau kegiatan sosial, sangat mungkin dianggap sebagai pelanggaran hak cipta bila dibawakan tanpa izin eksplisit dari pencipta lagu.
Padahal, banyak pelantun nasyid tampil secara sukarela dalam konteks edukatif dan spiritual, tanpa tujuan komersial. Ketidakjelasan ini membuat ruang ekspresi musisi religi pun menjadi terbatas dan berisiko.
Dengan semakin kompleksnya dunia pertunjukan musik, para pemohon berharap agar Mahkamah Konstitusi dapat memberikan penafsiran konstitusional terhadap UU Hak Cipta yang lebih adil dan inklusif.
Perlindungan hukum yang jelas dan proporsional akan membuka jalan bagi para pelaku pertunjukan dari berbagai latar belakang untuk berkarya tanpa rasa takut. Sebab, dalam ekosistem musik, peran pencipta dan pelaku pertunjukan adalah dua sisi yang saling menghidupkan satu sama lain.
Sidang selanjutnya dijadwalkan berlangsung awal Agustus 2025. Putusan MK dalam perkara ini dinantikan sebagai tonggak penting dalam penataan hukum hak cipta di Indonesia agar lebih adaptif terhadap dinamika industri kreatif dan perlindungan hak musisi dari semua genre.[ind]