ChanelMuslim.com – Memahami kondisi psikologis keluarga pejuang Covid-19 ketika maut menjemput orang terkasih. Jangankan ribuan kematian dalam satu hari, bahkan kematian satu orang pun dapat membawa dampak psikologis yang besar bagi orang-orang terdekatnya, baik itu pasangan, anak, orangtua, saudara, teman, dan lingkar interaksi lainnya.
Oleh: Miftahul Jannah, M. Psi., (Psikolog)
Dalam kisaran lebih dari satu tahun ini, penduduk dunia menghadapi ujian kesehatan dan mental yang Subhanallah luar biasa. ALLAH menguji manusia dengan sumber penyakit yang tak nampak mata namun dengan resiko terbesar kembali ke haribaan-Nya dalam waktu yang tiada disangka. Pada 23 Juli 2021, Indonesia bahkan mengalami angka kematian tertinggi sepanjang usia pandemi berlangsung, yaitu 1.566 kematian.
Sutarimah Ampuni, M. Psych dalam tulisannya ‘Dukacita Akibat Covid-19 dan Dampak Psikologisnya’ menyampaikan bahwa dalam sudut pandang Psikologi, angka kematian di atas bukanlah sekadar statistik belaka.
Jangankan ribuan kematian dalam satu hari, bahkan kematian satu orang pun dapat membawa dampak psikologis yang besar bagi orang-orang terdekatnya, baik itu pasangan, anak, orangtua, saudara, teman, dan lingkar interaksi lainnya.
Bagi keluarga yang ALLAH takdirkan ditinggal lebih dulu oleh orang-orang terkasih, dampak yang kasat mata dirasakan (misalnya hilangnya penopang ekonomi keluarga) bisa jadi tidak lebih berat dan sulit dibanding dampak yang tak kasat mata, yaitu dukacita (grief).
Dukacita merupakan sebuah emosi kompleks yang mencakup banyak unsur, seperti rasa sedih (sadness), tidak percaya (disbelief), mati rasa (numbness), kecemasan, keputusasaan, kesepian, dan rasa bersalah.
Dukacita yang saat ini dialami keluarga yang ditinggal adalah bentuk dukacita yang unik, sifatnya lebih kuat daripada dukacita pada umumnya.
Kondisi tersebut terjadi karena sejumlah alasan. Pertama, umumnya keluarga tidak bisa mendampingi pasien pada saat-saat terakhirnya, misalnya pasien meninggal di ruang isolasi atau ICU rumah sakit di mana keluarga tidak diperkenankan mendampingi pasien secara fisik. Kontak terakhir dengan pasien kebanyakan hanya dari layar ponsel.
Kedua, proses penyelenggaran jenazah pun sangat berbeda dengan apa yang biasa menjadi kultur kita. Tidak ada peziarah/pelayat yang hadir, jenazah umumnya tidak disemayamkan di rumah, dan bisa jadi dimakamkan di lokasi yang sebenarnya kurang diinginkan keluarga. Kondisi-kondisi di atas sangat mungkin menimbulkan rasa bersalah pada diri keluarga yang ditinggal.
Baca Juga: Masalah Psikologis Dirasakan Masyarakat di Masa Covid-19
Memahami Kondisi Psikologis Keluarga Pejuang Covid-19 Ketika Maut Menjemput Orang Terkasih
Kubler Ross dalam bukunya Death & Dying (dalam Ampuni, 2021) mengungkapkan bahwa ada lima fase yang mungkin akan dilalui seseorang dalam merespon kematian, yaitu: penyangkalan (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi, dan akhirnya penerimaan (acceptance).
Seseorang bisa jadi menolak dan tak langsung percaya orang terdekatnya telah berpulang, karena pada umumnya komunikasi masih tetap terjalin meski hanya lewat ponsel. Ketika telah percaya, maka kemarahan dan kekecewaan (anger) adalah respon emosi yang mungkin juga muncul pada fase awal akibat kematian orang terdekat. Dari tidak percaya lalu percaya, bisa jadi akan timbul rasa marah pada berbagai pihak, ke sesama keluarga, tenaga medis, diri sendiri, bahkan Tuhan.
Seorang teman menyampaikan bahwa ketika kakaknya ALLAH takdirkan berpulang karena terpapar, ia sempat ‘kecewa’ kepada ALLAH.
Di dalam hatinya muncul tanya, “Ya ALLAH, kenapa harus kakak saya yang sangat saya sayangi?” Sebuah pertanyaan yang berupa respon anger ini ternyata berefek pada ruhiyah dan ubudiyahnya. Ia mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia tak lagi bangun awal sebagaimana kebiasaannya dan ia meninggalkan qiyamullail.
Selama kurun waktu itu pula ia merasa kondisi imannya sangat menurun. Alhamdulillah dengan izin ALLAH kondisi tersebut tidak berlangsung lama, dan ALLAH dengan rahmat-Nya kembali mengizinkannya bangun awal waktu dan menghidupkan malam dengan amal.
Secara pribadi, ia merasa sangat lega bisa kembali ke rutinitas amalnya. Beberapa hari ketika ia ‘jauh’ dari-Nya membuat ia merasa sangat tak nyaman, dan rasa itu membuatnya sampai pada kefahaman bahwa memang tempat manusia bergantung hanyalah kapada ALLAH saja.
Sebagai seorang muslim yang beriman, kita memahami bahwa Islam menuntun ummatnya untuk berserah diri pada setiap ketentuan dan ketetapan ALLAH Subhanahu wata’ala atas diri kita. Namun pada pengamalannya, bagi kebanyakan manusia, ternyata itu merupakan perkara yang harus diperjuangkan, tidak begitu saja ridha hadir di dalam hati ketika ujian yang sangat berat datang.
Rasa sedih yang mengiringi peristiwa kematian orang terkasih adalah sunnatullah, bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun meminta kita untuk bersedih ketika kita harus bersedih, karena itu adalah tanda lembutnya hati.
Meski demikian, seiring dengan kesedihan yang dirasakan, maka seorang beriman hendaknya mengambil hikmah dari ketetapan ALLAH Subhanahu wata’ala dengan mengingat janji ALLAH atas kematian seorang mukmin.
Imam Qurthubi dalam kitab at-Tadzkirah menulis bahwa Ka’ab Al-Ahbar berkata bahwa begitu seorang shalih diletakkan di dalam kuburnya, maka amal-amal shalihnya akan mengerumuninya.
Amal-amal shalihnya itu akan menjadi pelindungnya sehingga tidak ada jalan bagi malaikat azab untuk mendekatinya. Kemudian akan dikatakan kepadanya, “Tidurlah dengan tenang, engkau hidup bahagia, dan matipun bahagia.”
Hendaknya kita meyakini bahwa orang-orang terkasih yang ALLAH Ta’ala pilih pulang kepada-Nya lebih dulu insyaAllah mudah-mudahan mendapat derajat syahid dan meraih janji surga. Allahumma aamiiin…
Apabila merasakan proses penerimaan yang sulit terhadap kepulangan orang terkasih, jangan ragu untuk meminta pertolongan kepada ulama/orang shalih, profesional, atau sahabat yang kita percaya.
Adapun bila kita adalah handai taulan, teman, atau kolega dari keluarga yang berdukacita maka kita dapat memberikan dukungan psikologis dengan memastikan bahwa ia tidak kesepian dan dalam kondisi emosi yang sulit.
Jika tidak memungkinkan untuk hadir secara fisik, dapat diberikan dengan menanyakan kabar secara berkala melalui aplikasi chatting, mengajak videocall, mengirimkan makanan sebagai bentuk perhatian, dan sebagainya.
Semoga ALLAH Ta’ala mudahkan kita semua dalam menetapi takdir-Nya, memahami kondisi psikologis keluarga pejuang Covid-19 dan semoga ujian ini segera ALLAH angkat dari bumi. Allahumma aamiiin. Wallahua’lam bish shawab.[ind]
Referensi:
Imam al-Qurthubi, At-Tadzkirah – Keindahan Menghadapi Kematian.
Dr. Ibrahim Elfiky – Terapi Berpikir Positif.
Abunnada – Bersandar dan Berserah.
Sutarimah Ampuni, M.Si, M. Psych – Dukacita Akibat Covid-19 dan Dampak Psikologisnya.
Beberapa artikel situs berita tervalidasi.