ChanelMuslim.com- Aksi membela Bendera Tauhid kembali digelar pada Jumat kemarin (2/11). Aksi ini sepertinya sebagai kelanjutan aksi sepekan sebelumnya yang ternyata belum membuahkan hasil. Yaitu: pengakuan netralitas Bendera Tauhid.
Fenomena menarik pasca aksi bela Bendera Tauhid pada Jumat pekan lalu. Sejumlah kantor pemerintahan daerah, kantor gubernur dan di bawahnya, secara spontanitas seperti ikut mensyiarkan aksi tersebut. Jadilah Bendera Tauhid, Al-Liwa dan Ar-Royah berkibar di kantor kepala daerah.
Sayangnya, pengibaran tersebut mendapat reaksi yang tidak mereka inginkan. Alih-alih mendapat pengakuan dan syiar Islam dari pihak pemerintah pusat, justru para pejabat daerah tersebut seperti mendapat respon negatif.
Namun demikian, respon negatif itu tidak dinyatakan secara jelas dan transparan. Dan termasuk apakah hal tersebut akan berimbas pada sanksi.
Pelanggaran tersebut lebih karena mengibarkan bendera ormas atau apa pun selain bendera merah putih di kantor-kantor pemerintah, termasuk kantor kepala daerah. Kecuali adanya acara resmi pemerintahan.
Pengakuan tentang Bendera Tauhid
Inti dari aksi Bela Bendera Tauhid pada dua Jumat lalu secara berturut-turut adalah seperti mensosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia termasuk pemerintah bahwa Bendera Tauhid bukan milik HTI.
Di sinilah persoalannya. Yaitu, belum adanya kesepakatan atau sejenis pengakuan bahwa Bendera Tauhid bukan milik HTI dan tidak bisa diklaim sebagai lambang atau bendera HTI.
Sebenarnya, secara tidak langsung Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan bahwa yang dibakar oleh oknum Banser di Garut pada waktu lalu bukan bendera HTI, melainkan Bendera Tauhid.
“Secara fakta seperti yang terlihat dalam video tersebut bahwa yang mereka bakar adalah bendera tauhid, bukan bendera HTI,” jelas Wakil Ketua MUI, Yunahar Ilyas di acara konpres MUI bersama divisi Humas Mabes Polri di kantor MUI.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa MUI sebagai lembaga tertinggi fatwa ulama memberikan sinyal pengakuan bahwa Bendera Tauhid bukan bendera HTI.
Semestinya, penjelasan MUI ini sudah cukup menjadi acuan pemerintah dan ormas lain bahwa Bendera Tauhid, Al-Liwa dan Ar-Royah, bukanlah milik ormas tertentu, melainkan milik umat Islam dunia.
Dan pihak mantan pimpinan HTI sendiri, yang disampaikan Ismail Yusanto melalui Vlognya di sosmed, bahwa HTI tidak memiliki bendera. “Bendera tersebut murni bendera Al-Liwa dan Ar-Royah sebagai bendera dan panji Rasulullah saw.,” jelas Ismail Yusanto.
Pengakuan dari pemerintah ini penting karena selama masih dalam ketidakjelasan, orang bisa saja menafsirkan bahwa Bendera Tauhid sebagai bendera organisasi terlarang. Dan, hal tersebut juga menjadi terlarang dikibarkan oleh si apa pun.
Perppu No. 2/2017 yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang dalam pasal 59 ayat 4 menyebut,
Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.
Mahalnya Pengakuan Bendera Tauhid
Jika status Bendera Tauhid masih seperti saat ini, keberadaannya menjadi multi tafsir. Dan hal tersebut telah menimbulkan banyak korban.
Kasus yang pernah dialami Ustaz Abdul Somad yang mengalami cekal di wilayah Jawa Timur antara lain karena adanya simbol atau Bendera Tauhid. Pihak pencekal menyebut UAS bagian dari organisasi terlarang yaitu HTI.
Hal ini karena salah seorang panitia acara tablig akbar yang akan dihadiri UAS mengenakan topi dengan simbol Tauhid berwarna hitam dengan tulisan warna putih, mirip dengan bendera Ar-Royah.
UAS menjelaskan bahwa panitia itu sebagai sukarelawan yang ingin mensukseskan acara UAS. Bukan dari tim UAS, atau orang yang ditugaskan UAS.
Karena pembatalan tersebut, seseorang yang mengenakan topi simbol Tauhid itu pun menyatakan permintaan maaf kepada UAS. Dan menurut UAS, orang tersebut menginfakkan uangnya sebesar seratus juta rupiah untuk dakwah UAS. Dan uang tersebut disalurkan UAS untuk pembangunan madrasah di wilayah pedalaman Riau.
Begitu pun apa yang terjadi di Garut sehingga memunculkan reaksi keras umat Islam, bukan hanya di Indonesia, bahkan dunia. Para oknum Banser yang masih belia itu mengaku tidak mengetahui apa yang mereka lakukan terlarang atau tidak. Mereka menganggap bahwa yang mereka bakar adalah bendera HTI sebagai ormas terlarang.
Jika kejelasan ini belum juga nyata, tidak mustahil akan muncul berbagai kasus serupa di Garut di beberapa tempat lain. Dan hal itu sangat menguras energi bangsa dan sangat rawan memunculkan konflik antar anak bangsa.
Sosialisasi sebagai Pengakuan
Jika pengakuan secara resmi dari pemerintah tidak secara jelas terucap, inilah mungkin yang ingin didapatkan dari Aksi Bela Bendera Tauhid, Yaitu, sosialisasi secara massif kepada umat Islam seluruh Indonesia bahwa Al-Liwa dan Ar-Royah adalah bendera Nabi saw. atau Bendera Tauhid.
Sosialisasi ini seperti disampaikan Habib Riziq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam, seperti disampaikan pimpinan FPI.
“Kita akan mengajak umat Islam mengenakan topi Tauhid di setiap hari Jumat, ribuan dan insya Allah jutaan umat Islam seluruh Indonesia,” ucap Ustaz Haikal Hassan di sela-sela acara Aksi Bela Bendera Tauhid.
Hal ini dimaksudkan agar umat Islam terbiasa dengan pemandangan Bendera Tauhid. Sehingga, tidak alergi bahkan takut dengan sosok Al-Liwa dan Ar-Royah. (mh)