GURU honorer bisa dibilang tenaga pendidik ‘perjuangan’. Sudah gajinya minim, problem yang dihadapinya pun bisa lumayan berat.
Namanya Supriyani. Usianya 36 tahun. Sudah 16 tahun berprofesi sebagai guru honorer di SDN 04 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia mengajar di kelas I B.
Sudah 16 tahun istri dari Katiran (38 tahun) ini mengabdikan diri di dunia pendidikan. Penghasilan per bulannya bisa dibilang minim: hanya 300 ribu rupiah.
Mungkin, itulah pilihan yang ada dan tersedia. Karena sang suami hanya tukang bangunan.
Bermula dari Bulan April
Pada tanggal 26 April, Katiran dipanggil Polsek Kecamatan Baito. Saat tiba di sana, sudah ada orang tua murid dan siswa dari Supriyani.
Pendek cerita, polisi mengabarkan bahwa istri Katiran diduga telah melakukan penganiayaan terhadap salah satu siswanya itu. Penganiayaan diduga dilakukan pada tanggal 24 April, atau pekan pertama masuk sekolah setelah libur Lebaran.
Setelah laporan ini disampaikan Supriyani, ia pun melaporkan ke pihak sekolah. Sebenarnya pihak sekolah tidak percaya kasus ini bisa terjadi. Pasalnya selama 16 tahun mengajar, Supriyani tak pernah dikabarkan melakukan penganiayaan kepada siswa.
Mediasi Sekolah dan Kepala Desa
Momen-momen menegangkan yang dialami Supriyani dan Katiran pun terus bergulir. Keduanya bingung harus bagaimana. Pasalnya, orang tua yang melaporkan itu adalah polisi yang juga berdinas di kecamatan mereka tinggal.
Pihak sekolah akhirnya mengambil peran. Mereka melakukan kunjungan ke orang tua korban untuk melakukan klarifikasi dan mediasi. Tapi, hal itu gagal.
Setelah pihak sekolah gagal, Kepala Desa setempat pun ikut mengambil peran. Pak Kades menjadi perantara proses ‘damai’ antara orang tua korban dengan Supriyani yang diwakili Katiran.
Dikabarkan, pihak orang tua korban mau ‘damai’ jika ada uang yang dibayarkan. Tapi, jumlahnya waktu itu tidak disebutkan.
Setelah pihak Kades menyampaikan ke Katiran, ia sanggup mengusahakan 10 juta rupiah. Tapi setelah disampaikan Kades ke penyidik, menurutnya jumlahnya masih kurang. Katiran pun menyanggupi untuk mengusahakan 20 juta rupiah.
Sayangnya, setelah Kades menyampaikan kesanggupan itu, jumlah segitu juga dianggap masih kurang. Akhirnya, tercetuslah angka 5, dengan isyarat lima jari seperti yang diceritakan Pak Kades.
Pak Kades meminta kepastian, apa artinya isyarat jari lima itu: 500 atau 5 juta? Dijawablah bahwa isyarat itu adalah 50 juta. Mengetahui jumlah itu, Katiran akhirnya menyerah. Ia tak sanggup dengan uang sebesar itu.
Proses Penahanan
Setelah sekian bulan prosesnya bergulir, akhirnya kasus dugaan penganiayaan oleh guru Supriyani masuk ke Kejaksaan. Supriyani pun dilakukan penahanan sejak tanggal 16 Oktober.
Kasus ini mulai ramai di jagat maya. Dan akhirnya viral. Banyak pihak yang bereaksi. Termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI wilayah Konawe Selatan.
Pihak PGRI melakukan konperensi pers yang isinya memprotes penahanan seorang guru honorer Supriyani. Bahkan, suara-suara kriminalisasi pun menggaung kencang.
Menyimak suara protes keras dari masyarakat tersebut, akhirnya pihak kejaksaan dan kehakiman membebaskan Supriyani dari penahanan. Tapi, Supriyani sudah terlanjur menjalani penahanan hampir sepekan.
Nurani dan Keadilan Hukum
Meski bebas, Supriyani harus mengikuti sidang pengadilan. Dan sidang perdana tersebut berlangsung pada Kamis (24/10) kemarin. Begitu banyak anggota masyarakat khususnya dari korps PGRI yang ikut hadir. Mereka meneriakkan kata bebas untuk Supriyani.
Kasus sensitif yang mencederai nurani dan rasa keadilan ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sejumlah kasus serupa juga pernah mencuat dan juga viral menasional. Yaitu, kasus hukum yang mengancam rakyat kecil, terlebih lagi seorang guru.
Kebijakan tentang kasus ini sebenarnya sudah dianggap selesai di tingkat pusat. Misalnya, pihak Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan kasasi bahwa pendisiplinan seorang guru tidak bisa diproses hukum.
Begitu pun dengan kebijakan Kejaksaan Agung yang berkali-kali mengatakan perlunya melihat sisi nurani dalam penuntutan hukum.
Entah di mana macetnya, kasus sangat sensitif ini akhirnya juga berulang. Dan kini menimpa seorang guru honorer yang tak berdaya menghadapi aparat hukum.
Proses pengadilan terhadap Supriyani masih bergulir. Semoga para penegak hukum bisa jernih melihat keadilan.
Kalau guru bisa dikriminalisasi dalam menegakkan disiplin kepada siswa-siswanya, apalah jadinya masa depan pendidikan kita. Inikah efek dari ‘Merdeka Belajar’ yang disalah artikan? [Mh]