KENALI Perilaku Pemilih dari Empat Kelompok Pemilih Ini, Calon Kepala Daerah Wajib Tahu. Tulisan ini merupakan karya tulis dari Dr. (Cand) Ferry Cahyadi Putra, S.Si, M.M. Ia adalah Founder & CEO PT INFERENSIA Mulia Indonesia (Marketing Research & Strategy Consultant).
Tepat saat tulisan ini akan dipublikasikan, momentum pesta demokrasi khususnya pileg dan pilpres baru saja usai, peristiwa terbesar lima tahunan di negeri tercinta kita semua, Indonesia.
Jika melihat judul tulisan ini mungkin terlihat terlambat, seharusnya tulisan ini dibuat minimal satu tahun sebelumnya, untuk menjadi salah satu referensi dalam merumuskan strategi pemasaran politik untuk memenangkan persaingan yang semakin hari semakin ketat.
Dalam tulisan kali ini saya mengambil studi kasus adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), alasannya sederhana, karena PKS yang saya pahami dari berbagai informasi di media, ingin melompat dari partai papan menengah (partai perolehan suara 5.0%-10.0%) menjadi partai papan atas (diatas 10.0%).
Sejak didirikannya, Partai Keadilan Sejahtera/PKS – sebelumnya bernama Partai Keadilan/PKmenjadi harapan baru untuk Indonesia, khususnya mereka yang mewakili kelompok islam modern, yang menginginkan Islam menjadi solusi atas permasalahan umat dan bangsa.
Kekuatan militansi kader yang sudah di gembleng sejak awal tahun 1980-an adalah modal dasar untuk mendirikan partai politik di momentum pergerakan reformasi. Dan modal dasarnya bertemu, menemukan antara momentum, kekuatan kader dan visi besar partai politiknya.
Namun, pemilu pertama di tahun 1999, sayangnya Partai Keadilan – sekarang PKS – hanya mendapatkan suara sebesar 1,4%. Angka ini tidak cukup untuk lolos Electoral Threshold/ET, sehingga PK berganti nama menjadi PKS.
Di 4 pemilu selanjutnya, PKS terus mengalami banyak dinamika, penulis tidak perlu terlalu banyak bercerita di masa 20 tahun lampau bagaimana dinamika yang terjadi.
Namun, tetap saja walaupun hasilnya naik signifikan di tahun 2004 dengan mendapatkan suara sebesar 7,3%, angka ini mengalami stagnasi. Sejak pemilu 2004 – 2019, suara PKS hanya berada di rentang 6,8 % – 8,2%, menjadi bagian dari beberapa partai papan menengah saja.
Baca juga:Calon Kepala Daerah Perempuan, dari Artis hingga Dokter
Kenali Perilaku Pemilih dari Empat Kelompok Pemilih Ini, Calon Kepala Daerah Wajib Tahu
Bahkan, di pemilu tahun 2024 ini, perolehan suara PKS berada di angka 8,4%, jauh dari target yang dicanangkan untuk menjadi partai papan atas diatas 10%.
Stagnasi angka-angka ini menjadi bagian dari evaluasi, apa yang harus dilakukan PKS kedepan. Ada apa dengan PKS?. Hipotesa penulis adalah, PKS perlu masuk dan memenangkan hati para pemilih di kelompok/segmen pemilih Transaksional-Progresif dan Transaksional-Konservatif. Apa itu? Ayo kita bahas.
Menurut observasi dan riset kualitatif penulis yang beberapa tahun terakhir ini terjun membantu para politisi memenangkan persaingan di daerah pemilihannya, perilaku para pemilih dalam memilih calon anggota dewan yang menjadi etalase partai politik setidaknya bisa dibagi menjadi 4 kuadran.
Sumbu horizontal dibagi menjadi ekstrim kiri yaitu pemilih transaksional dan ekstrim kanan yaitu ideologis. Sedangkan sumbu vertikal dibagi menjadi kelompok pemilih progresif dan konservatif. Kita akan jelaskan satu persatu di bawah ini :
1. Kelompok Pemilih Ideologis – Progresif
Mereka ini adalah kader PKS, yang sudah melalaui proses penggemblengan cukup panjang, memahami dasar perjuangan partai dan siap untuk melakukan apapun untuk partai.
Mereka dibina dan sudah memahami ideologi partai. Mereka juga bukan hanya paham, tetapi sudah dan terus bergerak memperkenalkan dan mempengaruhi masyarakat dengan ketokohannya masing-masing.
Namun yang unik dari kelompok ini adalah, mereka sangat progresif, mereka akan memilih calon anggota dewan dengan rasionalisasi pemikirannya. Apa gagasan yang dibangun, bagaimana narasinya, apakah berkontribusi dalam pengembangan kuantitas, kualitas dan kapasitas kader partai.
Mereka terdidik dan memahami apa yang terbaik untuk partai namun tetap menjaga dasar perjuangan partai. Jika mereka bukan kader PKS, mereka adalah kader PDIP yang diikat oleh ideologi Bung Karno dan memahami paham marhaenisme. Sebagian besar dari mereka adalah para pendiri awal partai PDIP.
2. Kelompok Pemilih Ideologis – Konservatif
Sama halnya dengan kelompok pertama diatas, namun mereka cenderung konservatif. Artinya, mereka bekerja untuk partai namun cenderung lebih pasif dalam membangun pemikiran-pemikiran baru dalam mengembangkan basis pemilih partai.
Mereka cenderung memilih berdasarkan apa yang menjadi instruksi struktural melalui jalur – jalur resmi partai. Oleh karena itu, kelompok seperti ini adalah kelompok yang siap untuk bekerja dengan instruksi tanpa perlu banyak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Jika mereka bukan kader PKS, mereka adalah kader-kader partai lain yang menggunakan penokohan keluarganya atau keturunan keluarganya dalam mempengaruhi proses pemilihan. Misalnya, pemilih di pesantren-pesantren Jawa Timur yang cenderung memilih para calon anggota dewan yang memiliki keturunan kyai pesantren.
3. Kelompok Pemilih Transaksional – Progresif
Mereka yang berada di kelompok ini cenderung memilih berdasarkan apa yang menjadi keuntungan pribadi dan atau lingkungannya.
Cenderung membutuhkan bukti-bukti yang sifatnya fisik, terlihat, bisa berbentuk uang, merchandise atau bangunan fisik. Namun yang unik dari kelompok ini adalah, mereka tetap cenderung transaksional tetapi juga melihat secara rasional kualitas calon anggota dewannya.
Mereka juga melihat apa yang menjadi visi misi dan program calon anggota dewannya. Walaupun mereka tetap melihat keuntungan memilih, mereka juga akan selektif memilih kualitas calon anggota dewannya.
4. Kelompok Pemilih Transaksional – Konservatif
Berbeda dengan kelompok ketiga, mereka murni transaksional dan cenderung tidak terlalu melihat kualitas calon anggota dewannya. “Pokoknya yang penting ada kontribusinya”.
Sebagian besar mereka berkumpul di kampung-kampung yang belum terpapar oleh kualitas pendidikan tinggi sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh sesuatu yang sifatnya terlihat secara fisik.
Untuk mempengaruhi mereka, memerlukan waktu yang sangat panjang dengan melibatkan tokoh-tokoh sentral yang bersama-bersama dengan kader partai politik melakukan pembinaan dan program pemberdayaan sehingga perlahan-lahan berubah.
Lalu, bagaimana agar PKS keluar dari partai papan menengah dan siap untuk lompat ke partai papan atas?. Menurut penulis, PKS harus memperbesar orbit target pemilihnya, masuklah dan seriuslah menggarap kelompok 3 dan 4. Disitulah market size pemilih paling besar.
Setiap kader jauh hari memulai untuk masuk ke kantong-kantong area dimana mereka berkumpul untuk memulai pembinaan dan program pemberdayaan.
Satu lagi, PKS harus serius menggarap bidang ekonomi kader, agar calon anggota dewan yang ditawarkan adalah mereka yang punya kualitas dan kekuatan keuangan untuk lebih mudah mempengaruhi mereka. Jika melakukan itu, penulis percaya dalam waktu dekat PKS akan menjadi partai papan atas di Republik ini. [Azh]