ChanelMuslim.com- Pilkada DKI Jakarta yang baru saja usai memberikan seribu satu pelajaran tentang berdemokrasi di Indonesia. Pelajaran berharga bukan hanya untuk warga Jakarta, tapi untuk bangsa Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Namun, tidak demikian cerminan yang bisa ditangkap dari hampir semua media asing. Khususnya, media Barat. Hampir semua media besar di sana memberikan penilaian yang begitu tendensius, dangkal, bahkan terkesan picik.
Mereka seperti seragam memberitakan bahwa kemenangan Anies Sandi menunjukkan kemenangan radikalisme Islam di Indonesia. Mereka juga mempertontonkan kebodohan bahwa seolah pertarungan Anies-Sandi dengan Ahok-Djarot sebagai pertarungan antara Islam radikal dengan pluralisme.
Misalnya, Wall Street Journal berjudul: Hard-Line Strain of Islam Gains Ground in Indonesia, Wolrd’s Largest Muslim Country. Tulisan ini memuat kabar bahwa Islam garis keras berhasil menggulingkan gubernur beragama Kristen.
Begitu pun dengan media Australia: SBS Australia dengan judul Jakarta Election: Radical Islam tested ‘if Ahok Wins’. Tulisan ini membahas bagaimana pluraslisme berhasil dikalahkan oleh kelompok radikal Islam.
Reuters juga tidak jauh beda. Dalam tulisannya, media ini menggambarkan kebangkitan kaum ekstremisme dan radikal Islam. Dan kekuatan ini akan terus berlanjut dalam pilpres 2019.
Media lainnya seperti USA Today berjudul ‘Muslim Voters Oust Jakarta’s Christian Governor’. Tulisannya mengulas bagaimana warga Jakarta tergiring dalam memilih gubernur muslim dan mengalahkan gubernur Kristen.
Pendapat Tokoh Indonesia
Mengomentari sinisnya pemberitaan media asing terhadap Pilkada DKI Jakarta yang dimenangkan Anies-Sandi memunculkan reaksi dari para tokoh di tanah air.
Antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres menilai bahwa pemberitaan media asing tentang Pilkada DKI Jakarta tidak adil. Dan hal itu ia sampaikan kepada Wapres Amerika, Mike Pince yang tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia.
“Soal pilkada, tadi saya ketemu Wakil Presiden Mike Pince, saya bilang juga, tidak adil ini media luar. Karena yang menang banyak didukung oleh teman-teman organisasi Islam dan sebagainya dianggap garis keras yang menang. Padahal, Anies Baswedan merupakan salah satu tokoh Islam yang sangat moderat dan lembut,” papar JK seperti dilansir Kompas.com, (20/4/2017).
Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nur Wahid, menilai bahwa pemberitaan media asing khususnya Barat membuat framing radikalisme umat Islam di Jakarta. Padahal, framing ini bertentangan dengan fakta di lapangan.
Kenyataannya, menurut Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini, Anies didukung oleh partai-partai nasionalis moderat. Tidak hanya kelompok Islam, kelompok lain juga banyak memberikan dukungan.
Begitu pun dengan kelompok yang mendukung Ahok-Djarot. Menurut Hidayat, partai dan ormas Islam pun memberikan dukungan kepada pasangan ini. Yaitu, PPP, PKB, dan GP Ansor.
“Jika memang radikalisme yang mendukung, dengan berbagai provokasi terhadap pendukung Anies, pasti sudah terjadi konflik horisontal. Tapi kenyataannya aman, tertib, dan damai. Apa yang dikhawatirkan kepolisian tidak terjadi,” jelas Hidayat Nur Wahid seperti dimuat kumparan.com.
Hidayat menambahkan, media Barat perlu belajar lagi soal makna demokrasi dan umat Islam di Indonesia. Pemberitaan Barat seperti yang selama ini terjadi terhadap umat Islam Indonesia justru akan memprovokasi tumbuhnya radikalisme.
Kebodohan atau Sinisme Media Barat terhadap Umat Islam Indonesia
Langgam stereotip media Barat terhadap umat Islam Indonesia yang selalu negatif memunculkan penilaian tersendiri. Apakah media Barat memang secara kompak sinis terhadap umat Islam, khususnya Indonesia dan ini berarti kejahatan dalam jurnalistik. Atau, memang mereka bodoh dengan fakta di lapangan. Dua-duanya serba tidak mengenakkan dan memalukan.
Sepertinya, media Barat abai atau memang pura-pura abai bahwa Jakarta bukan Singapura atau kota-kota lain di negeri mereka. Jakarta mayoritas berpenduduk muslim, dan memiliki sejarah religiusitas yang tak terpisahkan dengan kelahirannya.
Munculnya gerakan protes secara massif terhadap Ahok yang kebetulan calon gubernur yang bertanding melawan Anies Baswedan bukan dipicu karena sentimen agama atau etnis. Melainkan karena Ahok menjadi terdakwa dalam kasus penodaan agama Islam.
Sebelum kasus penodaan agama ini terjadi, tidak ada satu ormas dan partai Islam pun yang secara massif dan frontal melakukan gerakan penumbangan terhadap Ahok. Dan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dianggap berpihak bukan berisi larangan memilih pemimpin non muslim. Melainkan soal penodaan agama tersebut.
Kalau saja, Ahok tidak terjebak dalam pusaran kasus penodaan agama, boleh jadi, penolakan dan gerakan pemenangan Anies-Sandi tidak sedahsyat ini.
Mestinya, media Barat bisa melihat secara objektif bahwa demokrasi di Indonesia, sekritis apa pun isu yang menyertainya, dan semassif apa pun kemarahan rakyat yang muncul, tetap menjaga nilai-nilai hukum dan aturan main yang benar.
Dan fenomena ini mulai luntur di negeri Barat sendiri. Negeri yang mereka klaim sebagai contoh demokrasi yang maju. Bukti paling terakhir adalah rusuhnya pemilihan Presiden Amerika yang dimenangkan Donald Trump. (mh/foto: kumparan.com)