Chanelmuslim.com – Hudzaifah bin Yaman memasuki arena kehidupan ini berbekal karakter istimewa, yaitu kebencian terhadap kemunafikan. Ia mampu mendeteksi kemunafikan itu walaupun tertutupi tembok tebal.
Sejak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani ayahnya menghadap Rasulullah untuk masuk Islam, sejak saat itu, Islam mempertajam bakatnya tersebut. Bagaimana tidak, karena ia sudah masuk agama yang sangat hebat, bersih, lurus, membenci orang-orang yang munafik, kemunafikan, dan kebohongan.
Ia dididik oleh Rasulullah yang notabene sangat terbuka seperti cahaya subuh. Tiada sedikit pun dari kehidupannya yang tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya. Muhammad adalah seorang rasul yang jujur dan dapat dipercaya. Suka kepada orang-orang yang teguh membela kebenaran, membenci orang-orang yang munafik, ingin dipuji, dan penipu.
Jadi, tidak ada tempat yang cocok untuk mengembangkan dan mempertajam bakat Hudzaifah selain dalam pangkuan Islam.
Ya…, di sini, dalam didikan Rasulullah, dan lingkungan generasi sahabat yang bersih dan mulia.
Bakatnya ini benar-benar berkembang pesat. Ia fokus pada keahlian membaca air muka seseorang dan rahasia yang tersembunyi. Dengan hanya sekilas pandang, ia mampu melihat rahasia yang tersembunyi. Dengan hanya sekilas pandang, ia mampu melihat rahasia yang tersembunyi, tanpa susah payah.
Ia benar-benar ahli di bidang ini. Bahkan Khalifah Umar yang dikenal sebagai orang yang penuh inspirasi, cerdas dan piawai, tetap mengandalkan pendapat Hudzaifah untuk mengenali orang-orang yang diinginkan.
Hudzaifah benar-benar telah dikaruniai pikiran jernih yang mengantarkannya sampai pada satu kesimpulan bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang baik itu sangat jelas bagi orang yang menginginkannya. Sebaliknya, yang jelek tersembunyi. Karena itu, orang bijak harus mendeteksi sumber-sumber kejahatan ini.
Begitulah. Hudzaifah ra. terus mendeteksi kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafik.
Ia berkata, “Orang-orang menanyakan tentang kebaikan kepada Rasulullah, tetapi aku menanyakan tentang kejahatan kepadanya, agar aku tidak terjerumus ke dalam kejahatan itu. Aku pernah bertanya; ‘Ya Rasul, dulu kita berada dalam kejahiliahan, dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?’”
“Ya,” jawab beliau.
“Apakah setelah keburukan itu masih ada kebaikan?”
“Ya, tapi ada kekurangan.”
“Kekurangannya?”
“Yaitu, segolongan umat mengikuti sunah yang bukan sunahku, dan mengikuti petunjuk yang bukan petunjukku. Kamu kenal mereka dan kamu menentang mereka.”
“Setelah kebaikan tersebut, apakah ada lagi keburukan?”
“Ya, para penyeru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka.”
“Ya Rasulullah, apa yang harus kuperbuat jika aku mendapati zaman itu.”
“Senantiasa mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka.”
“Bagaimana kalau mereka tidak mempunyai jamaah dan tidak mempunyai pemimpin?”
“Hendaklah kamu tinggalkan semua golongan itu, meskipun harus menggigit pangkal pohon, sampai menemui ajal dalam keadaan demikian.”
Perhatikanlah ucapannya, “Orang-orang menanyakan tentang kebaikan kepada Rasul, tetapi aku menanyakan tentang keburukan kepadanya agar tidak terjurumus ke dalam keburukan itu.”
Hudzaifah bin Yaman menjalani hidup ini dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan lika-likunya demi menjaga diri dan memperingatakan orang lain agar tidak terjerumus ke dalam keburukan itu. Sehingga, ia bisa mengenali dunia, manusia dan zaman. Semua masalah yang ada, ia cerna dengan pola pikir melingkar lalu keluar dengan kesimpulan yang bijak.
Ia berkaata, “Sesungguhnya, Allah telah mengutus Muhammad. Manusia yang semula sesat, ia ajak ke jalan hidayah. Manusia yang semula kafir, ia ajak ke jalan iman. Yang hatinya terbuka, menyambut ajakan itu.
Kebenaran menghidupkan hati yang telah mati. Kebatilan mematikan hati yang hidup.
Setelah masa kenabian, datanglah masa Khalifah yang sesuai sunah Nabi.
Setelah itu, datanglah masa kerajaan yang durjana. Di antara kaum muslimin ada yang menentangnya dengan hati, tangan dan lisannya. Mereka inilah yang total menyambut kebenaran. Di antara kaum muslimin ada yang menetangnya dengan hati dan lisannya, sementara tangannya tidak terbuat apa-apa. Mereka ini meninggalkan satu bagian kebenaran. Di antara kaum muslimin ada yang tidak menentang sama sekali. Hati, tangan dan lisan mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka ini mati, meskipun kelihatannya hidup.”
Ia juga berbicara tentang hati. Mana hati yang mendapat petunjuk dan mana yang sesat.
“Hati itu ada 4 macam: hati yang tertutup. Itulah hati orang kafir; hati yang memiliki dua muka. Itulah hati orang munafik; hati yang suci bersih. Ada pelita yang menerangi. Itulah hati orang yang beriman; dan, hati yang berisi keimanan dan kemunafikan. Keimanan itu laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu bagai bisul yang di aliri darah dan nanah, maka mana yang lebih kuat, itulah yang menang.”
Pengetahuan Hudzaifah yang luas tentang keburukan, lalu keteguhan dan keberaniannya menentang semua kebatilan, meneybabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya secara kesatria. Ia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah, ‘Ya Rasul, lidahku agak tajam terhadap keluargaku. Aku khawatir ini akan menyebabkanku masuk neraka.’ Rasul menjawab; Mengapa kamu tidak beristigfar? Sungguh aku beristigfar 100 kali dalam sehati.’”
Nah, inilah dia Hudzaifah, musuh kemunafikan dan kawan keterbukaan.
Laki-laki semacam ini pasti memiliki iman yang teguh dan cinta yang mendalam. Dan, memang begitulah Hudzaifah.
Ayahnya yang sudah muslim, tewas pada Perang Uhud di tangan kaum muslimin sendiri, karena dikira masih kafir dan berada di barisan musuh.
Dari jauh, ia melihat pedang sedang dihunjamkan kepada ayahnya. Ia berteriak, “Ayahku…, ayahku… Dia ayahku.” Tetapi takdir Allah telah menentukan ayahnya tewas di tangan kaum muslimin.
Kaum muslimin sangat sedih ketika mengetahui laki-laki itu adalah ayah Hudzaifah dan sudah muslim. Mereka diliputi duka mendalam. Maka, dengan pandangan penuh kasih, Hudzaifah berkata kepadamereka, “Semoga Allah mengampuni kalian. Dia Maha Penyayang.”
Kemudian, dengan pedang terhunus, ia maju ke tempat berkecamuknya perang dan memainkan perannya.
Perang pun usai. Berita tewasnya ayah Hudzaifah sampai ke Rasulullah. Beliau mengharuskan pembayaran diyat atas peristiwa itu. Namun Hudzaifah menolak, dan mensedekahkan ganti rugi itu kepada kaum muslimin. Peristiwa ini semakin menambah rasa sayang Rasul kepada Hudzaifah. (bersambung/dn)
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom