DI hutan Papua, burung kicau pitohui dikenal dengan suaranya yang nyaring dan menarik. Namun, burung ini ternyata beracun karena kulit dan bulunya mengandung neurotoksin kuat yang melindunginya dari parasit dan predator.
Meskipun beracun, permintaan terhadap pitohui di pasar burung Indonesia meningkat sejak 2015. Dari 2015 hingga 2023, tercatat 312 pitohui diperjualbelikan, baik di pasar burung maupun secara daring, dengan harga mencapai Rp 5 juta per ekor.
Pitohui adalah genus burung yang terdiri dari beberapa spesies, dengan Pitohui bertopeng (Pitohui dichrous) menjadi spesies paling beracun.
Baca juga: Telah Terkonfirmasi, Flu Burung Menewaskan Satu Orang di AS
Burung Kicau Pitohui Papua Memiliki Bulu dan Kulit yang Beracun
Burung ini memiliki bulu berwarna oranye kecokelatan dengan kepala dan sayap kehitaman. Meskipun tampak seperti burung kicau pada umumnya, keberadaan racun dalam tubuhnya menjadikannya istimewa.
Burung ini banyak ditemukan di hutan hujan Papua dan sekitarnya, hidup dalam kelompok kecil, dan sering mengeluarkan suara khas yang nyaring.
Untuk menarik pembeli, burung ini sering dijual dengan label cucakrawa Papua, meskipun bukan spesies yang sama.
Perdagangan pitohui semakin menjadi perhatian karena sebelumnya tidak ada catatan penyitaan spesies ini, tetapi sejak 2019 hingga 2024, TRAFFIC mencatat sembilan kasus penyitaan dengan total 152 ekor.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Peneliti khawatir bahwa meningkatnya permintaan akan mendorong eksploitasi lebih besar terhadap burung liar dari Papua, seperti yang terjadi pada spesies lain sebelumnya.
Hingga kini, pitohui belum termasuk dalam daftar spesies yang dilindungi, namun perdagangan tanpa kuota resmi tetap dianggap ilegal.
Keberadaan racun dalam bulu dan kulitnya menjadi strategi pertahanan yang efektif dari pemangsa. Penelitian tentang burung ini masih terus berkembang, mengungkap lebih banyak tentang adaptasi alam yang luar biasa. [Din]