oleh: Ratih Septiana (Ummu Maryam)
AYAH ibu idolaku. Sebuah ucapan dari seorang anak yang membuat orangtua manapun menjadi bangga dan terharu.
Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang anak yang paham seberapa besar usaha orangtuanya mendidik dia, seorang anak yang mengerti pengorbanan orangtuanya demi menghidupkan anaknya.
Ada sebuah kata-kata, anakmu bukan anakmu, begitu kata Kahlil Gibran dalam bukunya. Anak adalah amanah dari Allah.
Dia titipkan dan jaga dalam rahim ibu, selama 9 bulan. Lalu… ketika terlahir bertumbuh berkembang beranjak dewasa akankah anak selamanya, seutuhnya menjadi anak kita? Menjadi seperti apa yang kita inginkan? Bisa iya bisa tidak.
Sebab masa depan anak berkaitan dengan bagaimana cara kita sebagai orang tua mendidik mereka sedini mungkin.
Hari ini, betapa banyak kasus yang penulis saksikan, seperti Ibu yang merasa putus asa dalam mengarahkan anak-anaknya hingga akhirnya na’udzubillah tercetuslah kasus pembunuhan Ibu terhadap anak.
Atau sebaliknya, sedari kecil anak menyimpan dendam terhadap orang tua sebab merasa ditekan dan didekte sedemikian rupa, akhirnya ketika ia dewasa dan cukup kuat ia membalas semua perasaan kecewa, marahnya dengan menghabisi Ayahnya. Na’udzubillahimindzalik!
Hal ini menjadi perhatian khusus bagi penulis, kiranya apakah yang salah hingga tercipta kasus tersebut? Dan siapakah yang patut disalahkan?
Ayah Ibu, kita percaya bahwa anak adalah amanah yang Allah percayakan kepada kita, sudah semestinya kitalah yang paling bertanggung jawab atas pendidikan mereka.
Bagaimana caranya agar kita mampu mendidik anak-anak kita dengan baik? Agar tak salah haluan, supaya tidak terjerumus pada pergaulan salah dan bebas? Untuk itu izinkan penulis berbagi pengalaman di sini.
Baca juga : Ayah Ibu Kembalilah ke Rumah
Ayah Ibu Idolaku
Ada beberapa poin penting setidaknya secara umum yang butuh kita pelajari, pahami bersama untuk merumuskan harmonisasi antara anak dan orang tua.
1. Ayah dan Ibu butuh sekolah sebagai orang tua.
Kok begitu? Iya, karena menjadi Ayah dan Ibu bukan sekadar bertanggung jawab atas makan, pakaian, sekolah, mainan untuk anak.
Kita tak bisa langsung puas ketika melihat anak mampu melaksanakan shalat, akan tetapi dalam keseharian masih sulit, susah untuk Ayah dan Ibu arahkan.
Seperti halnya membantu membereskan rumah bahkan sekadar membereskan barangnya sendiri. Lebih dari itu. Kita ingin menciptakan karakter, generasi pribadi yang unggul.
Dan itu bisa dilakukan biidznillah, mulai dari diri Ayah juga Ibu.
Pertama, adalah terus menerus, continue memperbaiki diri dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah, berdoa. Kemudian ikuti kajian parenting rabbani, atau jika tidak sempat manfaatkan gadget Ayah dan Ibu.
Putar via YouTube. Saat kita tidak tahu, bukankah sebaiknya kita mencari tahu? Bersyukur alhamdulillah saat kita memiliki ilmu kita akan mampu menerapkan pada anak-anak kita.
Seperti menanamkan adab, aqidah, dan tata cara ibadah sejak dini.
2. Bangun hubungan, komunikasi dengan anak.
Mungkin Ayah dan Ibu sudah sering mendengar, menyimak tata cara pendidikan seorang Ali bin Abu Thalib. 7 tahun pertama, 7 tahun kedua, dan 7 tahun ketiga.
Tingkatan-tingkatan tersebut telah mengajarkan pada kita agar kita sebagai orang tua mampu menjadi the best friend ever bagi putra-putri kita.
7 tahun pertama (0-7) ajarkan kepada anak tentang lemah lembut, upayakan tidak keras dan hindari bentakan dan pukulan kepada anak.
7 tahun kedua (8-14) ajarkan pada anak-anak soal prinsip, tanggung jawab, disiplin. Dan Ayah Ibu bisa memulai tegas di sini, tegas bukan berarti keras.
7 th ketiga (15-21) libatkan mereka dalam mengambil keputusan, ajak diskusi, dan mari menjadi pendengar yang baik.
Sebab di fase ini kita sedang mendidik anak-anak untuk bermusyawarah. Diskusi berbeda pendapat, dan berlapang dada ketika pendapatnya tak diambil.
Perhatikan setiap keunikan anak, dan kelemahannya. Selalulah bertanya tentang perasaannya. Seperti saat dia bersedih, gembira, juga saat anak merasa kecewa juga marah.
3. Menjadi pendengar yang baik.
Merasa kita yang bertanggung jawab terkadang kita terlupa bahwa keinginan anak-anak itu juga perlu didengar. Itulah mengapa sering anak-anak bersedia mendengarkan ‘ocehan’ Ibu namun tak membekas pada hati mereka.
Mungkin Ibu sering menggebu-nggebu saat tidak menyukai sesuatu, dan tidak siap kecewa ketika anak melakukan kesalahan.
Ibu, betapapun ia masih kecil, anak tetaplah manusia seperti kita yang lebih-lebih lagi mau didengar setiap perasaannya.
Untuk itu, tidak ada salahnya kita belajar menjadi teman baik bagi putra-putri kita. Tatap matanya ketika kita berbicara atau menjawab pertanyaannya.
Dan ingaaat, jangan biarkan gadget menempel di telapak tangan kita ketika kita bercengkerama dengan anak-anak.
Percayalah, momentum mereka tumbuh kembang akan terlewati begitu saja. Jadi, mari Ayah Ibu, jadilah pendengar yang baik, siapkan ruang sabar, ruang imajinasi yang unlimited untuk buah hati kita.
Karena usia dini 0-7 adalah masa di:mana mereka merekam kenangan. Semoga yang dikenang adalah hal terindah dari kita sebagai Ayah dan Ibunya.
4. Maksimalkan peran Ayah bagi anak-anak.
Berkongsi dalam kegiatan sehari-hari bersama putra-putri kita bisa menjadi kegiatan yang seru dan dinantikan oleh anak-anak kita. Biasanya Ayah paling sedikit waktunya di dalam rumah.
Alasan pekerjaan, tanggung jawab memenuhi kebutuhan anak dan istri menjadi hal classic yang justru biasanya menjadikan pola asuh terhadap anak antara ayah dan ibu menjadi jomplang.
Ayah ada, namun tiada. Di dunia parenting Islam pun mengakui bahwa sosok ayah memang tak seintensif layaknya ibu dalam keseharian.
Namun kehadirannya sangat krusial. Ayah diibaratkan sebagai akar penguat jiwa psikologis seorang anak. Anak yang dekat dengan ayahnya biasanya dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Anak yang dekat dengan Ayah juga mampu menjadi pribadi yang dewasa juga hangat. Hal itu karena ayah memiliki pola asuh khusus untuk bertanggung jawab dan mengayomi orang-orang terdekatnya termasuk anak-anak.
5. Ayah Ibu first!
Menjadi qudwah, teladan. Anak-anak lebih ‘mempan’ dengan visual yang mereka perhatikan, lihat, amati setiap hari.
Mustahil saat Ayah/Ibu mengatakan, “Nak pergilah shalat, ini sudah waktu Maghrib!” sementara Ayah/Ibu asik menonton Tivi atau memegang gadget! Biasakan sinkron antara ajakan dan perbuatan yang memperlihatkan contoh.
Dan itu semua dimulai dari Ayah juga Ibu terlebih dahulu. Anak-anak apalagi dalam usia 0-7 tak butuh banyak teori, karena mereka saat itu cukup mendengar, melihat dan merasa.
Sementara periode emas anak ketika ia berumur 3 tahun. Jadi, mari kita maksimalkan menjadi qudwah, teladan, idola bagi putra-putri kita sendiri.
Semoga apa yang penulis sampaikan bermanfaat, dan Allah mudahkan kita sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak kita, agar mereka menjadi pribadi yang rabbani.
Hingga, ketika anak terbiasa melakukan kewajiban, mereka tidak merasa terbebani dan sekadar menggugurkan formalitas saja. Akan tetapi, pada saat mereka melakukan hal tersebut, mereka merasa butuh ‘do it!’ sebab Ridha Ayah Ibu adalah Ridha Allah.
Wallahu A’lam. Selamat mencoba![mrr]
Inspirasi:
1. Ustaz Bendri Jaisyurahman kajian Parenting
AYAH ADA AYAH TIADA
2. Ustaz Khalid Basalamah dalam kajian RUMUS MENDIDIK ANAK
3. Elly Risman dalam Kompasiana
TUJUH PILAR MENDIDIK ANAK