ChanelMuslim.com- Sambutan gembira umat Islam tentang dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haramnya umat Islam mengenakan atribut non muslim dan haramnya pengusaha mewajibkan umat Islam mengenakan atribut non muslim, ternyata tak berlangsung lama.
Hal ini ditandai dengan pernyataan yang membingungkan dari para pejabat bahwa fatwa MUI tersebut tidak mengikat karena bukan putusan pengadilan. Dengan kata lain, para pejabat itu seolah ingin mengatakan, abaikan saja fatwa MUI itu.
Kok bisa? Lalu bagaimana dengan nasib pegawai muslim yang dipaksa untuk mengenakan atribut natal yang sudah diharamkan MUI?
Antara Perlindungan dan Posisi Formal Fatwa
Secara definisi akademis, mungkin bisa dibenarkan bahwa fatwa hanya sebatas jawaban tentang sebuah hukum syariat dari sebuah lembaga yang kredibel. Dan sebagai sekadar sebuah jawaban, kedudukan fatwa bisa diikuti, bisa juga tidak, selama ada jawaban lain yang setidaknya setara dengan fatwa tersebut.
Namun, tidak berarti bahwa fatwa bisa diabaikan secara kolektif oleh lembaga lain yang mempunyai otoritas tertentu. Karena secara kolektif itu, selain ada yang tidak mematuhi, banyak juga yang ingin mematuhi fatwa.
Seperti diketahui secara umum, selama ini umat Islam merasa risih, baik yang melihat apalagi yang mengenakan, umat Islam yang mengenakan atribut natal: topi, pakaian, dan lain-lain, khususnya dalam dunia kerja.
Bayangkan, seorang wanita yang berbusana muslimah, rapi dengan jilbabnya; tapi di kepalanya terdapat topi yang merupakan simbol natal yang bertentangan dengan nilai keyakinan muslimah tersebut. Hal itu terpaksa ia lakukan karena tuntutan pekerjaan.
Lebih parah lagi jika dirujuk pada nilai akidah atau keyakinan. Dalam hal ini, Islam jelas menegaskan bahwa tidak ada abu-abu dalam hal keimanan. Apalagi melakukan ritualitas agama lain,walaupun sekadar tuntutan kerja.
Dalam Surah Al-Kafirun, Allah swt melarang umat Islam untuk ‘mencla-mencle’ dalam keyakinan: Katakan (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Pertanyaannya, lembaga apa yang akan melindungi umat Islam untuk mengamalkan fatwa MUI tersebut? Karena pelaksanaan fatwa ini akan bertabrakan dengan kebijakan tempat kerja yang bisa berbuntut pemecatan dan intimidasi.
Pertanyaan ini sangat tidak bijak jika dijawab oleh pejabat yang mestinya melindungi, justru mengeluarkan jawaban akademis tentang fatwa yang tidak terikat.
Konflik umat Islam dalam hal ini bukan hal baru. Melainkan sudah berlangsung puluhan tahun, dan tidak ada satu lembaga pun yang nyata-nyata memberikan perlindungan. Padahal ini merupakan hak asasi seorang muslim untuk mengamalkan agamanya.
Ketegasan Soal Larangan Sweeping, tapi Tak Ada Ketegasan terhadap Pengusaha
Fenomena sweeping yang dilakukan ormas Islam berkenaan fatwa MUI ini merupakan fenomena lama yang terus berlangsung tiap tahun di beberapa daerah. Dan hal ini bukan sebagai aksi yang berdiri sendiri, tetapi sebagai dampak dari tidak adanya perlindungan yang diberikan negara terhadap umat Islam.
Umat Islam seperti dibiarkan begitu saja menghadapi masalah perjuangan keyakinannya “melawan” pengusaha. Atas nama peraturan kerja, atas nama toleransi, atas nama bisnis, dan lainnya; umat Islam tak punya tempat untuk bernaung memperjuangkan haknya.
Wajar, jika kekosongan ini diisi oleh umat Islam lain yang peduli dengan nasib saudaranya seiman yang sedang terzhalimi. Masalah aksi sweeping ini merupakan sentilan langsung dari warga yang mengungkapkan kritiknya terhadap abainya pemerintah dalam hal ini.
Pertanyaannya, kenapa aparat tidak secara tegas menyatakan akan menindak pengusaha yang memaksakan keinginan agamanya terhadap pegawainya, sementara terhadap ekses dari hal ini begitu tegas dinyatakan.
Umat Islam dan Pepesan Kosong ‘Toleransi’
Toleransi adalah tidak memaksakan kehendak terhadap orang lain yang berbeda. Bisa berupa keyakinan atau agama, budaya, pemikiran, dan lain-lain. Bukan sebaliknya: menerima segala kehendak orang lain yang berbeda untuk melahirkan keharmonisan dan kedamaian semu.
Umat Islam adalah umat yang paling toleran di dunia mana pun, baik dari segi historis, maupun keadaan saat ini. Karena Alquran sudah mengajarkan, Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). (Surah Albaqarah: 256)
Perhatikanlah ketika umat Islam mayoritas, umat agama lain bisa hidup bebas dan nyaman di negeri muslim. Bahkan, bisa pula meminggirkan peran muslim dalam hal yang strategis: ekonomi, politik, dan pendidikan.
Dengan bercermin dalam makna toleransi yang sebenarnya, bercermin dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia setelah sekian lama: siapa sebenarnya yang harus toleran selama ini? Dan siapa yang mestinya dihukum agar bisa lebih taat dengan nilai toleransi? (mh/foto: infospesial.net)