ChanelMuslim.com – Hal yang paling penting dalam menyatukan sebuah pernikahan adalah visi dan misi. Pernikahan adalah salah satu sarana ibadah.
Pernikahan juga merupakan suatu ikatanya yang kuat (miitsaqan ghalidzan) atau bisa dikatakan juga sebagai lembaga yang sakral. Oleh karena itu pernikahan bukan main-main dan tidak bisa kita coba-coba untuk menghindari perceraian.
Memilih menikah harus dengan kesiapan fisik dan psikis, lahir dan batin. Mengarungi bahtera rumah tangga harus memiliki kapal yang kuat yang berasal dari suami dan istri yang saling bertanggung jawab.
Baca Juga: Usia Pernikahan 5 Tahun Pertama
Pernikahan untuk Orang yang Telah Layak
Dalam surah An-Nur ayat 32:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini menunjukkan perintah, karena adanya lafadz yang menunjukkan perintah yaitu ankihuu (nikahkanlah). Ankihuu disini adalah fiil amr atau katak kerja perintah yang memiliki hukum asal wajib dikerjakan.
Oleh karena itu menikah hukum asalnya adalah wajib bagi orang yang sudah layak atau pantas untuk menikah.
Al-ayaama minkum, jika dalam terjemahan adalah orang yang layak, baik orang yang sendiri seperti gadis atau bujang, maupun yang sudah pernah menikah baik janda atau duda.
Sayangnya orang-orang merasa terkungkung dan merasa belum layak karena harta yang belum melimpah, padahal syarat menikah bukan mapan namun cukup dan layak.
Jika perempuan didatangi seorang laki-laki maka lihatlah agama dan akhlaqnya demikian sebaliknya bagi laki-laki. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Jika datang mengkhitbah kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaqnya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi)
Agama disini adalah gambaran dari ibadah seseorang, sedangkan akhlaq adalah gambaran interaksi sosialnya. Meskipun sesungguhnya orang yang baik agamanya sudah pasti baik akhlaqnya, tapi kita tidak bisa menjamin.
Ada sesorang yang shalat lima waktunya baik, shalat sunnahnya baik, tapi ia ringan tangan dalam artian suka memukul wanita.
Oleh karena itu di dalam hadits di atas disebutkan dua; agama dan akhlaq.
Jika ada seorang yang baik agama dan akhlaqnya lalu ditolak, maka akan terjadi fitnah atau kerusakan. Belum tentu yang datang setelahnya lebih baik dari sebelumnya.
Apalagi jika penolakan tersebut karena gajinya yang tidak banyak, padahal mencukupi.
Ini adalah sikap yang seharusnya diperhatikan oleh wanita saat dikhitbah oleh seorang laki-laki. Di sisi lain, hak wanita untuk menanyakan penghasilan laki-laki dan menyesuaikannya dengan standar kehidupannya selama ini.
Yang terpenting adalah seorang wanita harus jujur pada dirinya sendiri, saat menentukan standar hidupnya.
Dan bagi laki-laki, pilihlah wanita yang memiliki sifat pokok untuk menjadi seorang ibu, yaitu penyayang dan subur. Sebagaimana hadits Nabi:
“Nikahilah wanita yang penyanyang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An-Nasa’i dan Abu Dawud)