ChanelMuslim.com – Kaukasus Utara adalah wilayah Rusia di pegunungan Kaukasus yang kerap dianggap sebagai perbatasan Asia dan Eropa.
Wilayah ini terdapat puluhan bahasa dan kebangsaan. Sebagian besar negara-negara kecil ini saling bersengketa dengan tetangganya bahkan dengan pemerintah pusat di Moskow atau Tbilisi, Georgia.
Setidaknya ada delapan negara di kawasan ini yaitu Chechnya, Dagestan, Ingushetia, Ossetia Utara, Kabardino-Balkaria, Ossetia Selatan dan Abkhazia. Inilah sekilas profil kawasan itu.
Chechnya
Pada April 2009, Rusia memutuskan untuk mengakhiri operasi anti teroris jangka panjang melawan pemberontak Chechnya. Meski demikian secara sporadis perlawanan militan Chechen terus berlangsung.
Chechnya memproklamasikan kemerdekaannya dari Rusia pada tahun 1991, bertepatan dengan ambruknya Uni Soviet.
Tiga tahun kemudian Kremlin mengirim pasukan untuk memulihkan kekuasaannya yang kemudian memicu Perang Chechnya pertama. Perang itu berakhir dengan kekalahan Rusia pada 1996.
Tahun 1999, Rusia menyerbu lagi. Perang menghadapi pimpinan pejuang yang memenangi Pemilu tahun 1997 pecah.
Sementara itu, pejuang Chechen terus melakukan serangan bersenjata di luar Chechnya. Salah satu aksi mereka yang paling terkenal adalah pengepungan sebuah sekolah di Beslan, Ossetia Utara tahun 2004, pengeboman dua pesawat komersial Rusia, pengeboman kereta bawah tanah Moskow dan penyanderaan di teater Moskow Oktober 2002.
Panglima perang Shamil Basayev dituduh mendalangi sejumlah aksi berdarah itu. Basayev kemudian gugur dalam sebuah ledakan bom di negara tetangga Ingushetia Juli 2006.
Dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Ramzan Kadyrov yang didukung Kremlin melakukan tindakan keras terhadap militan yang menurunkan jumlah serangan mereka.
Kadyrov juga menjalankan program pembangunan kembali ibukota Grozny yang hancur selama perang.
Namun, Kadyrov dan milisinya dituding melanggar hak-hak asasi manusia antara lain melakukan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan.
Sejumlah pengkritik Kadyrov diketahui tewas, termasuk wartawati Anna Politkovskaya dan aktivis hak asasi manusia Natalia Estemirova.
Ingushetia
Aksi kekerasan di Ingushetia semakin meningkat beberapa tahun belakangan, setelah kelompok militan Chechnya semakin terdesak di negerinya sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, pasukan Rusia menewaskan pimpinan pemberontak Ingushetia Alexander Tikhomirov alias Said Buryatsky.
Tikhomirov diduga menjadi dalang sejumlah aksi kekerasan antara lain serangan bom terhadap Presiden Ingushetia Yunus-Bek Yevkurov dan serangan bersenjata terhadapm kereta api Nevsky Express Agustus 2009 yang menewaskan 29 orang.
Sebelum aksi kekerasan meningkat akhir tahun lalu, sebenarnya ketegangan sudah terjadi pada Juni 2004 setelah puluhan orang termasuk pejabat sementara Menteri Dalam Negeri Ingushetia tewas dalam sebuah serangan bersenjata.
Bangsa Ingushetia dan Chechnya sebenarnya memiliki kedetakan sejarah, budaya dan bahasa. Tahun 1936, pemerintah Uni Sovyet menggabungkan Ingushetia dengan Chechnya.
Tahun 1944, sebagian besar warga kedua bangsa ini dideportasi ke Asia Tengah oleh Stalin karena dituduh berkolaborasi dengan Nazi Jerman.
Sebagian besar dari mereka kembali ke kampung halamannya tahun 1950-an ketika pemerintah Uni Sovyet merancang garis perbatasan baru. Pemerintah saat itu memberikan sebagian wilayah Ingushetia kepada Ossetia Utara.
Ternyata keputusan rezim komunis ini, menumbuhkan benih perselisihan setengah abad kemudian. Pada 1992, pasukan Ingushetia menyerbu ke distrik Prigorodny yang disengketakan dan memicu konflik berdarah.
Moskow kemudian mengirim pasukan untuk memulihkan situasi dan mengusir semua orang Ingushetia yang mendiami wilayah sengketa itu.
Ossetia Utara
Secara historis, Ossetia Utara, yang masyarakatnya menggunakan bahasa Iran sebagai bahasa sehari-hari memiliki hubungan lebih dekat dengan Moskow dibanding republik-republik lain di kawasan itu.
Ossetia Utara adalah republik paling maju di kawasan Kaukasus Utara.
Tahun 1992, puluhan ribu warga etnis Ingushetia dipaksa meninggalkan Ossetia Utara setelah konflik berdarah pecah antara Ingushetia dan Ossetia Utara. Hingga kini perjanjian damai belum tercapai antara kedua negara.
Tudingan bahwa pasukan Ingushetia menjadi bagian dari kelompok bersenjata yang menyandera lebih dari 1.000 sandera di sebuah sekolah di kota Beslan, Ossetia Utara tahun 2004. Insiden itu kembali memanaskan hubungan kedua negara.
Penyanderaan di Beslan berakhir dengan korban sandera tewas 330 orang dan separuhnya adalah anak-anak.
Ossetia Utara juga menghadapi masalah dengan tingkat kriminal yang tinggi. Pada tahun 1999, sebuah serangan bom paku di sebuah pasar di ibukota Vladikavkaz menewaskan 60 orang.
Dagestan
Kekerasan di Dagestan meningkat setelah kelompok militan Chechnya semakin terpojok. Saat kondisi Chechnya saat ini relatif lebih damai, justru perlawanan militan Islam di Dagestan dan Ingushetia justru semakin merebak.
Baku tembak antara pasukan pemerintah dan kelompok militan selain meneaskan puluhan orang juga menghancurkan sejumlah sarana infrastruktur. Pada Juni 2009, Menteri Dalam Negeri setempat tewas tertembak.
Dagestan adalah republik Kaukasus Utara dengan wilayah terluas dan secara etnik dan bahasa sangat berbeda. Dagestan juga merupakan pintu ekspor minyak dari Laut Kaspia.
Negeri ini kadang disebut sebagai Pegunungan Bahasa atau Pegunungan Banyak Bangsa karena terkadang sejumlah etnis tinggal di satu atau dua desa.
Selama perang Chechnya pertama, Dagestan terlepas dari dampak perang namun kawasan itu digunakan para pejuang Chechen sebagai jalur logistik.
Tahun 1999, kelompok Muslim radikal Dagestan bergabung dengan gerilyawan Chechnya dalam upaya mendirikan sebuah negara Islam yang dengan cepat ditindak pasukan Rusia. Sejak saat itu, Dagestan telah berubah menjadi lokasi sejumlah aksi serangan berdarah.
Kabardino-Balkaria
Dua wilayah etnis bergabung menjadi Kabardino-Balkaria. Satu wilayah didominasi etnis Kabardin yang menggunakan bahasa Kaukasia dan wilayah yang lain didominasi etnis Balkar yang berbahasa Turki. Di wilayah ini juga terdapat populasi etnis Rusia yang siginifikan.
Tahun 1944, Stalin menuduh etnis Balkar bekerja sama dengan Nazi Jerman dan mendeportasi seluruh populasi etnis ini dan menghapus nama etnis ini dari nama republik itu. Pemerintah Uni Sovyet kemudian diperkenankan kembali ke kampung halamannya pada tahun 1957.
Perselisihan antara kedua kelompok etnis ini hampir tidak pernah berhenti. Tahun 1992, etnis Balkar yang berjumlah 8% dari jumlah penduduk Kabardino-Balkaria menyuarakan pemisahan diri.
Proklamasi kemerdekaan Balkaria tahun 1996 tidak mendapat dukungan di dalam negeri Kabardino-Balkaria namun didukung penuh Chechnya.
Pada bulan Oktober 2005, pemimpin pemberontak Chechnya Shamil Basayev merancang serangan ke ibukota Kabardino-Balkaria Nalchik yang mengakibatkan puluhan pemberontak dan pasukan pemerintah tewas.
Sejak saat itu terjadi bentrokan sporadis antara pasukan pemerintah dan sekelompok kecil di Kabardino-Balkaria.
Ossetia Selatan
Ossetia Selatan adalah salah satu titik awal konflik etnis saat Uni Sovyet mulai pecah. Tahun 1990 keinginan untuk bergabung dengan saudara sesama etnis di Ossetia Utara menyulut konflik dengan pemerintahan baru Georgia.
Sekitar 1.000 orang tewas dalam pertempuran selama dua tahun. Setelah itu, Ossetia Selatan masih dalam kendali para pemberontak dengan pasukan Rusia berperan sebagai penjaga perdamaian.
Ketegangan terus meningkat hingga akhirnya menyulut perang antara Georgia dan Rusia di Ossetia Selatan pada bulan Agustus 2008.
Georgia menyerang ibukota Ossetia Selatan Tshinvali untuk mengusir pemberontak. Akibat aksi itu, Rusia membalas dengan mengerahkan ribuan personil pasukannya ke Ossetia Selatan dan melakukan pemboman di sejumlah target di wilayah Georgia.
Pasukan Rusia kemudian maju jauh ke Selatan dan menduduki sebagian wilayah Georgia sebelum ditarik mundur ke Ossetia Selatan.
Dalam waktu bersamaan, Rusia mengusir pasukan Georgia dari Abkhazia sebuah kawasan yang juga menyatakan merdeka dari Georgia. Akibat peperangan ini, ribuan etnis Georgia kini menjadi pengungsi.
Rusia mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia, sebuah keputusan yang tidak didukung dunia internasional. Tak hanya itu, Rusia berjanji akan membantu kedua negara itu mempertahankan kemerdekaan mereka jika dibutuhkan.
Abkhazia
Meski secara geografis berada di Kaukasus Selatan, secara etnis Abkhazia lebih dekat dengan Kaukasus Utara.
Para pejuang Abkhaz memukul mundur pasukan pemerintah Georgia dari kawasan itu tahun 1993, setahun setelah Tbilisi mencegah keinginan Abkhazia memperoleh otonomi lebih besar. Saat itu, lebih dari 200.000 orang etnis Georgia meninggalkan Abkhazia.
Moskow mendukung pemberontakan Abkhazia dan perang singkat antara Georgia dan Rusia justru semakin memperkuat cengkeraman Rusia di Abkhazia.
Pertempuran di kawasan itu memang tidak sesengit di Ossetia Selatan. Namun, gerakan ofensif Rusia dan Abkhazia mampu memukul mundur pasukan Georgia dari Kodori Gorge satu-satunya wilayah Abkhazia yang dikuasai Georgia sejak konflik 1993.
Seperti halnya di Ossetia Selatan, Moskow juga mengakui kedaulatan Abkhazia. Dan kini, Abkhazia menerima lebih banyak investasi Rusia dibanding masa-masa sebelumnya.
Georgia menolak hasil pemilihan presiden Abkhazia Desember lalu yang menobatkan kembali Sergei Bagapsh sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun keduanya.
Kandidat yang kalah Raul Khajimba menuding banyak terjadi penipuan dalam pemilu namun para pengamat pemilu dari Rusia dan Venezuela menilai pemilu itu cukup bersih dan adil.[af/bbc]