ChanelMuslim.com – Sejak menyatakan diri sebagai Kota Internasional, pada 2002 silam, Pulau Jeju di Korea Selatan (Korsel) membuka pintu selebar-lebarnya bagi wisatawan asing dan menyajikan beragam fasilitas yang memenuhi kebutuhan mereka.
Yang menyenangkan, Jeju juga ramah kepada wisatawan muslim. Menurut Kim Dae Yong, Direktur Korea Muslim Federation, jumlah wisatawan muslim yang datang ke Jeju semakin banyak. Tahun lalu, ada sekitar 165 ribu wisatawan muslim datang ke Jeju. Beberapa di antara mereka bertemu Kim.
Sementara warga Jeju yang beragama Islam berjumlah sekitar seribu orang. Mereka antara lain berasal dari Indonesia, Bangladesh, Pakistan. Namun kehidupan umat muslim — yang terhitung kaum minoritas — di Jeju berbeda dengan tempat lain. Ada tradisi atau praktek yang sulit dilakukan di sini.
Para pria muslim, menurut Kim, dikutip Jeju Weekly, tidak bisa melaksanakan salat Jumat, karena peraturan setempat tidak memperkenankan pekerja mengambil libur pada Jumat. Begitu pula peringatan Hari Raya, seperti Idul Adha lalu, di Jeju pun berbeda dengan Indonesia.
Menurut Kim, Idul Adha berlangsung di Korsel tidak ubahnya hari biasa, sebab umat muslim di Jeju harus tetap bekerja. Lagipula tidak mudah bagi Kim mengumpulkan umat muslim untuk melaksanakan shalat Ied berjemaah karena mereka tersebar di penjuru Jeju.
Soal ‘penampakan’ hewan kurban juga berbeda. Di Indonesia, biasanya hewan kurban disiapkan beberapa pekan sebelum Idul Adha, di lingkungan permukiman dan masjid. Sementara Kim mengaku tidak pernah sekalipun merayakan hari raya.
“Saya menerima keadaan ini, sangat berbeda dengan Indonesia, dan banyak negara mayoritas muslim,” kata Kim kepada CNN Indonesia. “Saya dan keluarga tidak pernah membuat persiapan jelang hari raya, kami bekerja, alhamdulillah, kami rayakan di dalam hati saja.”
Kim sendiri adalah mualaf yang memang asli Jeju. Ia mendirikan satu-satunya musala di Jeju, yang sekaligus dijadikan sebagai pusat budaya Islam. Jangan bayangkan musala berkubah dengan kumandang azan. Musala ini merupakan ruang pertemuan di lantai 12, Jeonghan Officetel, di Jeju Do.
Lewat internet, Kim membuka pintu musalanya untuk semua orang, termasuk merekomendasikan tempat makanan halal di sekitar Jeju walaupun jumlahnya hanya segelintir. Kim sendiri tidak selalu berada di musala lantaran harus mengajar di Universitas Cheju Halla.
“Ini sangat individu, hidup di sini, bukan berarti tidak boleh menjadi Islam, hanya saja, hari keagamaan jatuh pada Sabtu dan Minggu, orang ke kuil, atau gereja, sementara kami yang muslim, harus bisa mengatur waktu agar bisa melaksanakan salat lima waktu.”
Sebagai cendekiawan muslim, langgam kehidupan Kim tergolong sederhana. Soal makanan, ia tergolong vegetarian. Jikapun makan daging, hanya ikan. Selama 25 tahun, Kim berjuang untuk mengubah stigma negatif tentang Islam di tempat kelahirannya.
“Karena menjadi minoritas, tidak ada penduduk lokal yang mengerti Islam selain saya dan keluarga, di sini peran kami untuk meluruskan kesalahpahaman akibat ketidaktahuan masyarakat Jeju tentang Islam.”
Kim menganggap, apa yang ia lakukan adalah salah satu bentuk jihad profesional. Sebagai orang Korea yang pertama kali belajar syariah pada 1980 lalu di Qatar, Kim meyakini, perjuangannya akan berbuah manis.[af/cnn]