KEUTAMAAN amalan pada bulan Dzulqa’dah. Dzulqa’dah adalah bulan kesebelas dalam tahun Hijriyah dan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah Subhanahu wa taala, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya, bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah: 36)
Baca Juga: Keutamaan Bulan Dzulhijjah
Keutamaan Amalan pada Bulan Dzulqa’dah
Ustaz Slamet Setiawan, S.HI. menjelaskan, dzulqa’dah berasal dari bahasa Arab ذُو القَعْدَة (dzul-qa’dah).
Dalam kamus al-Ma’ānī kata dzū artinya pemilik, namun jika digandengkan dengan kata lain akan mempunyai makna tersendiri, misalnya dzū mālin (orang kaya), dzū ‘usrah (orang susah).
Kata “qa’dah” adalah derivasi dari kata “qa’ada”, salah satu artinya tempat yang diduduki.
Dzulqa’dah secara etimologi diartikan sebagai orang yang memiliki tempat duduk, dalam pengertian, orang itu tidak bepergian ke mana-mana ia banyak duduk (di kursi).
Dari kata “qa’ada” ini bisa berkembang beberapa bentuk dan pemaknaan, antara lain taqā’ud artinya pensiun, konotasinya orang yang sudah purna tugas akan berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk (di kursi).
Dalam Lisānul ‘Arab disebutkan, bahwa bulan ke-11 ini dinamai Dzulqa’dah karena pada bulan itu orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan.
Hal itu dilakukan guna menghormati dan mengagungkan bulan itu. Seluruh jazirah Arab pada bulan tersebut dipenuhi ketenangan.
Dan ada lagi yang mengatakan bahwa mereka tidak bepergiaan itu karena untuk persiapan ibadah haji.
Baca Juga: Keistimewaan Bulan Syaban
Keistimewaan Bulan Dzulqa’dah
Menurut Mazhab Syafii, barang siapa berbuat kebaikan di bulan-bulan suci, maka pahalanya dilipatgandakan, dan barang siapa berbuat kejelekan di bulan-bulan tersebut, maka dosanya dilipatgandakan pula.
Di samping itu, pembayaran diyat yang diberikan kepada keluarga terbunuh di bulan-bulan suci harus diperberat.
Menurut Al-Thabari, sewaktu menafsirkan al-Taubah: 36, dia berpendapat bahwa kata ganti fī hinna di ayat itu kembali ke bulan-bulan suci, dan dia menyebutkan dalil-dalil untuk memperkuat pendapatnya ini.
Jika dikatakan bahwa pendapat ini berarti membolehkan untuk berbuat zalim di selain empat bulan suci itu, sudah barang tentu pendapat itu tidak benar, karena perbuatan zalim itu diharamkan kepada kita di setiap waktu dan di setiap tempat.
Hanya saja, Allah Subhanahu wa taala sangat menekankan keempat bulan tersebut karena kemuliaan bulan itu sendiri, sehingga ada penekanan secara khusus kepada orang yang bebuat dosa pada bulan-bulan itu, sebagaimana ada penekanan secara khusus kepada orang-orang yang memuliakannya.
Sebagai padanannya, firman Allah Subhanahu wa taala:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.” (QS al-Baqarah: 238).
Baca Juga: Tiga Belas Keutamaan Bulan Ramadan
Perintah Melaksanakan Shalat Wustha
Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah Subhanahu wa taala memerintah kita untuk memelihara (melaksanakan) seluruh shalat-shalat fardlu dan tidak berubah menjadi boleh meninggalkan shalat-shalat itu karena ada perintah untuk memelihara shalat wustha.
Perintah memelihara shalat wustha di sana untuk penekanan agar diperhatikan jangan sampai ditinggalkannya.
Demikian halnya larangan berbuat zhalim pada keempat bulan suci dalam QS at-Taubah: 36
Bulan Dzulqa’dah termasuk bulan-bulan haji, sebagaimana firman-Nya:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS Al-Baqarah: 197)
Menurut Ibn Umar radhiyallahu anhu yang dimaksud bulan-bulan haji itu adalah: Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, di antara sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah melaksanakan ihram haji hanya pada bulan-bulan haji tersebut.
Baca Juga: Keistimewaan Hari Jumat
Keutamaan Amalan Umrah pada Bulan Dzulqa’dah
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan ibadah Umrah empat kali, tiga kali di antaranya dilaksanakan pada bulan Dzulqa’dah dan sekali bersama ibadah haji di bulan Dzulhijjah.
قَالَ أَنَسٌ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-: “اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعَ عُمَرٍ، كُلَّهُنَّ فِي ذِي القَعْدَةِ، إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ: عُمْرَةً مِنَ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ الجِعْرَانَةِ، حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ” متفق عليه
Anas radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan ibadah umrah empat kali, semuanya dilaksanakan padan bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang dilaksanakan bersama ibadah Haji,
yaitu umrah dari al-Hudaibiyah di bulan Dzulqa’dah, umrah tahun berikutnya di bulan Dzulqa’dah, umrah dari Ji’ranah sambil membagikan ghanimah perang Hunain di bulan Dzulqa’dah, dan umrah sekalian melaksanakan ibadah haji (di bulan Dzulhijjah).” (HR al-Bukhari/ 1654 dan Muslim/ 1253).
Keistimewaan lainnya dari bulan Dzulqa’dah, Allah Subhanahu wa taala berjanji untuk berbicara kepada Nabi Musa alaihis salam selama tiga puluh malam di bulan Dzulqa’dah, ditambah sepuluh malam di awal bulan Dzulhijjah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa taala:
وَوَٰعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi).” (QS Al-A’raf: 142).
Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa, “Tiga puluh malam itu adalah di bulan Dzulqa’dah, sedangkan yang sepuluh malam adalah di bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir II/244).[ind]