ChanelMuslim.com- Pernikahan menghasilkan sebuah keluarga baru. Seperti halnya tanaman hias, pohon baru akan tumbuh di lahan kosong. Bukan tetap di pot yang sama bersama iduknya.
Semua orang mendambakan sebuah keluarga bahagia. Ada kelengkapan anggota, ada juga kelengkapan sarana.
Kelengkapan anggota adalah adanya ayah, ibu, dan anak. Kalaupun ada sosok lain, hanya sebagai pelengkap saja. Seperti, asisten rumah tangga, dan lainnya.
Kelengkapan sarana adalah adanya wadah di mana keluarga itu tumbuh dan berkembang. Tumbuh dan berkembangnya secara mandiri.
Wadah utama dalam keluarga adalah rumah. Di situlah keluarga memiliki identitas. Seperti siapa kepala keluarganya, anaknya berapa, alamatnya di mana, dan seterusnya.
Namun begitu, ada kalanya keluarga baru menetap dalam keluarga lama. Ada juga keluarga lama yang tetap menetap dalam keluarga yang lebih lama lagi.
Transisi Ada Batasnya
Tidak sepatutnya sebuah keluarga baru terus-menerus menetap dalam keluarga orang tua. Hal ini karena sejumlah alasan.
Pertama, langsung atau tidak, adanya keluarga baru dalam keluarga lama akan menjadi beban orang tua. Bukan hanya soal ekonomi, tapi beban psikologis.
Secara umum, orang tua yang sudah menikahkan anaknya, berusia sekitar 45 hingga 50 tahun. Usia yang mulai memasuki masa tua. Dari segi fisik mulai rentan, dan secara kejiwaan juga mengalami pelemahan.
Seperti gampang stres, menganggap besar masalah yang sebenarnya biasa saja, gampang sedih, banyak was-was, dan seterusnya. Boleh jadi, hal ini sebagai kelaziman orang tua di usia itu. Dan akan terus melemah di usia setelahnya.
Dengan adanya keluarga anaknya yang berada dalam rumahnya, mau tidak mau, orang tua seperti mengalami pengulangan masalah hidup. Seperti, mengasuh bayi atau balita lagi. Padahal, keduanya sudah melakukan itu untuk anaknya. Dan kini, ia lakukan lagi untuk cucunya.
Dengan masalah yang sama, tapi kondisi fisik dan jiwanya sudah berbeda. Hal ini akan memberatkan masa tuanya yang butuh istirahat lebih lama dari usia sebelumnya.
Bayangkan jika anak dan menantunya bekerja, sementara cucunya tinggal bersamanya. Pengulangan beban hidup terjadi di saat kondisinya tidak muda lagi.
Tapi kan orang tua suka “diganggu” cucunya, agar suasana tidak terasa sepi? Pertanyaan ini boleh jadi dijawab benar. Tapi, gangguannya tentu tidak seperti keduanya masih muda dulu. Mereka cuma ingin diganggu sesaat saja. Tidak sepanjang hari dan setiap hari.
Semestinya anaknya yang sudah berkeluarga bisa empati. Kasihan ayah ibu yang sudah membesarkan dirinya, tapi harus juga membesarkan cucunya.
Kedua, problematika rumah tangga baru juga menyeret beban pikiran orang tua. Hal ini karena tidak bisa dipungkiri bahwa cekcok rumah tangga anaknya akan langsung didengar dan diketahui orang tua.
Terlebih lagi, masa-masa awal rumah tangga tergolong masa pengenalan dan adaptasi. Masa yang belum tentu bisa langsung kompak. Belum tentu bisa langsung satu gagasan. Dan seterusnya.
Potensi cekcok rumah tangga jauh lebih besar dialami keluarga baru daripada keluarga lama. Bayangkan jika hal itu juga menjadi beban orang tua. Keduanya jadi ikutan was-was dengan dampak cekcok itu. Suatu beban yang sebenarnya bukan lagi urusannya. [Mh/bersambung]