ChanelMuslim.com – Hari ini, Rabu (26/5/2021), sebagian masyarakat Indonesia akan melihat fenomena alam yang dikenal dengan bulan merah darah atau gerhana bulan. Inilah waktu pelaksanaan shalat gerhana dalam Islam.
Baca Juga: Gerhana Bulan Hari Ini, Umat Islam Diimbau Shalat Khusuf
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Waktu shalat gerhana adalah sejak awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ووقتها من حين الكسوف إلى التجلي
Waktunya adalah dari sejak gerhana sampai kembali tampak (sinarnya). 1)
Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
تصلى هذه الصلاة وقت حدوث الكسوف والخسوف
Dilaksanakannya shalat ini adalah pada waktu terjadinya gerhana (Al Kusuf dan Al Khusuf). 2)
Dengan demikian, shalat gerhana belum boleh dilaksanakan jika belum mulai gerhana, dan sebaliknya jika sudah nampak terang atau sinar lagi secara sempurna, selesailah waktu dibolehkannya pelaksanaan shalat gerhana.
Baca Juga: Fikih Shalat Gerhana
Bolehkah dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat?
Yaitu setelah shalat subuh sampai saat awal terbit matahari, ketika matahari tegak di atas sampai tergelincirnya, lalu setelah shalat ashar sampai saat pas matahari terbenam.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat, Jumhur (mayoritas) mengatakan tidak boleh yakni makruh, inilah pandangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah,
kalangan Hanabilah mengatakan berdoa dan berdzikir saja, tanpa shalat, sebab larangan itu berlaku umum untuk jenis shalat sunah apa pun. Ada pun kalangan Syafiiyah membolehkannya. 3)
Pendapat Syafi’iyah nampaknya lebih kuat – Wallahu Alam.
Dalilnya adalah:
Keumuman dalil dari hadits:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. 4)
Maka, hadits ini berlaku secara mutlak (umum) bahwa shalat gerhana dilakukan kapan saja, sebab itu adalah konsekuensi dari perkataan “Jika kalian menyaksikannya.” Jadi, kapan saja menyaksikan gerhana, shalatlah.
Baca Juga: Begini Tata Sholat Gerhana
Shalat Muthlaq
Larangan shalat pada waktu-waktu terlarang itu hanya berlaku bagi shalat-shalat yang dilakukan tanpa sebab (istilahnya shalat muthlaq). Ada pun jika dilakukan karena adanya sebab khusus, maka dibolehkan.
Hal ini terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membolehkan seorang sahabatnya yang meng-qadha shalat sunah fajar dilakukan setelah shalat subuh. 5)
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah mengqadha shalat sunah badiyah zhuhur di waktu setelah ashar. 6)
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan seseorang untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid ketika beliau sedang khutbah,
padahal itu adalah waktu yang terlarang melakukan aktivitas apa pun kecuali mendengarkan khutbah, ternyata Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam justru memerintahkan sahabat itu, dengan mengatakan qum farka’ rak’atain (Bangunlah dan shalatlah dua rakaat). 7)
Para sahabat juga pernah shalat jenazah pada waktu setelah ashar, sehingga menurut Imam An Nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi kebolehan shalat jenazah pada waktu terlarang adalah ijmak, karena saat itu para sahabat tidak ada yang mengingkarinya. 8)
Begitu pula shalat gerhana di waktu-waktu terlarang ini, dia termasuk shalat yang memiliki sebab khusus (yakni peristiwa gerhana), bukan termasuk shalat muthlaq. Oleh karena itu, tetap dibolehkan walau dilakukan saat waktu terlarang shalat.[ind]
(Bersambung …)
[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/215
[2] Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/552
[3] Ibid, 2/553-554
[4] HR. Bukhari No. 1044, Muslim No. 901
[5] HR. Ahmad No. 23812, kisah Qais bin Amr. Syaikh Sayyid Sabiq mengutip dari Al ‘Iraqi bahwa sanadnya hasan. (Fiqhus Sunnah, 1/187)
[6] HR. Ahmad No. 26602, dari Ummu Salamah. Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 26602)
[7] HR. Muttafaq ‘Alaih, dari Jabir bin Abdillah
[8] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/144, juga Imam Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/95