Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) hari-hari ini menjadi buah bibir masyarakat. Namanya terpantik oleh kasus orang atau aktivis muda yang “menghilang” di sejumlah daerah, khususnya di Pulau Jawa. Kasus dr Rica Tri Handayani yang sempat menghilang dari keluarga di Yogyakarta, membuatnya ramai di jagad berita.
Mereka yang menghilang tersebut diduga mendapat indoktrinasi ideologi dan paham Gafatar. Meski secara terbuka gerakannya mengutamakan kasih sayang dan tolong-menolong, namun sejumlah korban tersebut mengungkapkan mereka didoktrin untuk tidak mematuhi ajaran agama dan norma-norma keluarga. Misalnya, mereka yang biasa rajin shalat dan puasa didoktrin untuk menanggalkannya.
Kejadian tersebut membuat beberapa tokoh ormas lain merasa prihatin. “Saya dengar Gafatar itu mengutamakan kasih sayang dan tolong-menolong, namun dengan mereka meninggalkan rumah, apalagi meninggalkan suami, itu berarti mereka menistakan keyakinan sendiri akan berkasih sayang, karena justru mereka membuat khawatir orang-orang di sekitar mereka,” ujar Waketum PBNU Marsudi Syuhud, sebagaimana dilansir okezone.com (13/1/2016).
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin bahkan menyatakan kelompok ini sesat dan menyesatkan, sehingga Pemerintah dan aparat terkait harus menindak tegas. “Saya kira enggak perlu lama-lam untuk melakukan kajian, sudah banyak informasi. Kalau itu jelas, benar, jangan ragu-ragu. Saya setuju ada kajian tapi jangan berlama-lama,” katanya seperti dikutip detik.com hari ini.
Organisasi masyarakat (ormas) Gafatar ini baru seumuran jagung, dideklarasikan di Jakarta pada 12 Januari 2012, namun mengklaim sudah memiliki perwakilan di 34 daerah (DPD). Website resmi Gafatar (www.gafatar.or.id/gafatar.org) pun sejak ramai jadi gunjingan publik sulit diakses.
Nama ormas ini terdaftar di kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) sejumlah daerah seperti di DKI Jakarta, Kota Gorontalo, Kabupaten Purbalingga, dan Riau.
Hanya saja di tingkat pusat, Gafatar belum mengantongi izin ormas ke Kesbangpol Kemendagri karena ditolak. “Awalnya, Gafatar mengajukan izin ormas ke Kesbangpol Kemendagri tahun 2012, tetapi ditolak. Sebab, dia hanya ganti nama saja dari ormas yang dilarang sebelumnya. Lalu, kami mengirim surat ke pemerintah daerah, baik di kota, kabupaten, maupun provinsi. Intinya supaya mereka tak memberikan izin kepada Gafatar,” kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Mayjen TNI Soedarmo, seperti dikutip kompas.com (12/1/2016).
Sementara itu, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendagri, tidak bisa membatalkan pemberian izin oleh pemerintah daerah. Hal ini karena terbentur oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pendaftaran ormas dapat dilakukan pada pemerintah pusat, provinsi, kota, atau kabupaten. Masa berlaku izin ini hingga lima tahun yang harus diperpanjang kembali.
Dengan banyaknya kasus orang hilang karena diduga terdoktrin oleh Gafatar, pemerintah terus berkoordinasi dengan aparat keamanan agar tidak terjadi gesekan sosial di bawah.
Jika aduan anggota keluarga yang hilang kian marak, serta terkuaknya ideologi ormas Gafatar, bisa menjadi pertimbangan kepala daerah yang telah memberikan izin pada ormas ini untuk tidak memperpanjang izinnya. (mr/chanelmuslim)