ChanelMuslim.com- Detik berganti menit. Menit berubah menjadi jam. Jam berakumulasi menuju hari, pekan, bulan, dan tahun. Dan putaran itu, tak bisa dimundurkan walau sedetik pun.
Setiap saat kita menjadi bagian sebuah putaran besar yang terangkai dari yang paling kecil ke yang super besar. Putaran itu sebagai perguliran waktu. Gerakannya konstan. Fix. Terus-menerus dan tanpa toleransi.
Seperti itulah yang kita rasakan setiap hari. Pagi hari kita bangun tidur. Matahari mulai muncul. Aktivitas menanti untuk digeluti. Matahari menyingsing. Dan, terus bergerak menuju akhir hari. Malam pun menjelang.
Kegiatan demi kegiatan mulai menyusut di kala itu. Beringsut menuju titik beku. Letih pun memuncak dan membuahkan rasa kantuk yang berakhir terpejamnya mata. Tubuh pun beristirahat dengan tenangnya. Dan, cerita waktu pun dimulai lagi esok harinya, di saat letih dan lelah hilang entah kemana.
Perguliran waktu itu menulis sejumlah memori. Apa saja. Semua yang dilalui terekam dalam memori hati. Ada seribu satu rasa bersemayam di sana. Bahagia, duka, kecewa, marah, gelisah, galau, was-was, takut, sedih, dan lainnya.
Hanya Allah dan kita yang mengerti apa yang telah terekam itu. Orang lain mungkin tahu. Tapi, tidak akan sampai sepuluh persen dari apa yang kita tahu.
Sehebat apa pun manusia, ia tak akan mampu mengendalikan semua lintasan memori ini. Ia tidak bisa memilih apa yang patut disimpan. Dan apa yang tak perlu tersimpan. Ia tidak bisa membekukan waktu untuk sementara agar bisa kembali ke masa lalu untuk mengubah sekelumit memori. Tak akan pernah bisa.
Tertulislah apa yang sudah terjadi. Terekam dalam memori hidup kita. Dan yang kita mampu hanya sekadar membacanya saja.
Kadang, ada keinginan kuat untuk mengubah memori yang tidak kita suka. Misalnya, seorang anak yang ingin kembali ke masa lalu saat masih bisa bercengkrama dengan ibunya. Masa lalu yang belum lama. Mungkin sehari lalu, pekan lalu, bulan lalu, tahun lalu, atau satu detik yang lalu.
Ia hanya ingin menulis memori indah saat ibunya masih bernyawa. Saat ibunya masih bisa bernafas, melihat, merasakan, dan masih bisa memberikan senyum atau ekspresi kecewa.
Ia hanya ingin apa yang tertulis di memori itu bisa seindah apa yang ia inginkan saat ini. Tidak seperti yang benar-benar telah tertulis. Karena ada sebait memori buruk yang sempat ia ukir di hati mendiang ibunya itu.
“Ah ibu, andai aku bisa kembali bersama ibu. Walau sedetik pun,” sebuah ungkapan yang tak akan mungkin bisa terjadi.
Ada juga memori-memori lain yang baru saat ini dirasakan tak semestinya tertulis di sana. Karena dengan memori itulah, ia merasakan penyesalan seperti yang dialami saat ini. Seperti, kalau saja saya memilih kuliah itu, mungkin saya tidak seperti saat ini. Kalau saja saya tidak memilih pekerjaan itu, mungkin saya tidak seburuk ini. Kalau saja saya tidak berada di tempat itu, mungkin tidak seperti ini yang akhirnya saya alami. Dan seterusnya.
Satu hal yang tak disadari, ingin melakukan sesuatu yang tak mungkin bisa, merupakan harapan yang sia-sia. Keinginan hampa yang mungkin akan menyedot seribu satu energi rasa.
Penyesalan yang baik bukanlah membayangkan bisa kembali ke masa lalu itu untuk bisa menghapus memori yang telah tertulis. Penyesalan yang baik adalah mencoba merangkai sejumlah antisipasi agar waktu yang mungkin akan kembali ke memori yang sama bisa berubah menjadi memori lain yang lebih baik.
Dan itu bukan perkara mudah. Karena umumnya kita hanya mampu membiarkan diri hanyut dalam kungkungan memori lama. Meski tanpa isi dan antisipasi. Seolah menghapus memori yang sudah tertulis jauh lebih rumit daripada berusaha keras untuk menulis memori baru di waktu yang belum terjadi. Kesadaran untuk menulis memori baik di waktu yang belum terjadi merupakan hal yang luar biasa. Sulit dan sangat langka.
Namun, itulah yang sebenarnya mungkin bisa dilakukan manusia. Membuat antisipasi untuk memori di masa depan, menyiapkannya agar tertulis seperti yang diinginkan. Dan hanya dengan cara inilah, ada upaya tak sadar bahwa sebenarnya ia sedang menghapus atau setidaknya mengurangi kekuatan memori masa lalu yang tak diinginkan itu.
Mungkin, inilah di antara makna arahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. “Janganlah kalian berandai sekiranya aku tidak melalukan itu maka tidak akan terjadi hal itu. Tapi nyatakanlah, Qadarullah! Semua terjadi karena ketentuan Allah. Apa yang Allah Kehendaki, maka terjadilah!”
Inilah pengakuan jujur kita bahwa masa lalu itu bukan milik kita. Dan tidak akan pernah sedetik pun akan menjadi milik kita. Itu milik Allah, Yang telah Menuliskannya di tempat yang tak bisa terbaca oleh kita.
Yang bisa kita lakukan adalah menguatkan kesabaran untuk ikhlas menerimanya. Menerimanya sebagai memori tersendiri dalam masa lalu hidup kita. Dan, bersungguh-sungguh ikhtiar agar bisa menjadi tulisan memori yang lebih baik di waktu akan datang. (Mh)