ChanelMuslim.com- Sebuah syair hikmah pernah ditulis Imam Syafi’i. Aku mengadukan tentang buruknya hafalanku kepada guruku. Ia pun membimbingku untuk meninggalkan maksiat. Dan mengajarkanku bahwa ilmu itu cahaya. Dan cahaya Allah tak akan menyinari hati yang bermaksiat.
Ungkapan jujur ulama besar seperti Imam Syafi’i itu mengingatkan kita dahsyatnya pengaruh maksiat. Jangan bayangkan versi maksiat Imam Syafi’i seperti maksiat kita saat ini. Ia hanya tak sengaja melihat sebagian kecil aurat kaki seorang wanita yang busananya tertiup angin. Hanya sekejap saja.
Mungkin di zaman kita saat ini, pengalaman yang dianggap terburuk Imam Syafi’i itu sudah menjadi hal lumrah. Biasa. Karena yang jauh lebih buruk dari itu pun sudah hampir diangap biasa.
Visualisasi aurat, dari pria atau wanita, kini tak perlu lagi tampak secara langsung. Teknologi telah memudahkan generasi akhir zaman ini bukan hanya sekadar melihat, tapi mencermati jenis maksiat itu. Kapan pun. Di mana pun.
Kalau sekaliber Imam Syafi’i bisa mengalami gangguan hafalan hanya dengan maksiat “sekecil” itu, bagaimana dengan kita. Bukan hanya terlihat sekilas. Tapi bisa berjam-jam. Bisa diulang-ulang. Padahal hafalan kita tak secuil dari yang dimiliki beliau.
Bayangkan, seperti apa pengaruhnya dengan secuil ilmu yang kita miliki. Sudah jumlahnya tak seberapa, tapi berada dalam kepungan dosa sedahsyat itu. Mungkin, yang kita sebut ilmu dalam diri kita tak ubahnya hanya sekadar fatamorgana.
Itu hanya satu jenis maksiat. Begitu banyak maksiat lain yang tak ada di masa Imam Syafi’i tapi sudah membudaya di zaman ini. Perhatikanlah dengan maraknya riba di zaman ini. Hampir tak ada dari kita yang bisa luput dari riba. Padahal tingkat dosanya sangat luar biasa.
Di masa Imam Syafi’i pula, ghibah hanya bisa terjadi jika orang saling bertemu. Tapi di zaman ini, tak perlu bertemu pun bisa berghibah. Bukan hanya dengan satu orang. Tapi bisa dengan puluhan bahkan ratusan orang.
Di masa Imam Syafi’i pula, orang hanya bisa riya di hadapan puluhan, atau paling banyak ratusan orang. Tapi di zaman ini, riya bisa dilakukan dengan jumlah orang tanpa batas.
Inilah zaman, dengan modal kebaikan secuil, tapi bisa bermaksiat tanpa batas. Tanpa pernah kita merasa gelisah seperti yang dirasakan Imam Syafi’i.
Padahal, jarak akhir dunia ini jauh lebih dekat di zaman kita di banding zaman Imam Syafi’i dulu. Padahal, potensi kematian di zaman ini jauh lebih besar dengan di zaman dulu.
Seorang di masa tabiin pernah bertanya kepada seorang ulama. Kenapa saya jadi sulit menangis saat berinteraksi dengan Kitabullah. Ulama itu menjawab, menangislah karena Anda telah kehilangan anugerah besar itu. Karena menangis saat membaca atau mendengar lantunan Kitabullah merupakan anugerah Allah yang begitu mahal. Dan, Anda telah kehilangan itu.
Hanya Allah dan kita yang tahu tentang maksiat kita. Allah tutup aib itu dari pandangan orang lain. Dan orang lain menilai kita sebagai orang soleh. Orang suci yang bersih dari maksiat.
Hanya Allah dan kita yang tahu tentang maksiat kita. Sayangnya, dan ini musibah paling besar, kita tidak menyadari bahwa maksiat kita begitu menggunung. Bahkan kita bangga dengan keadaan diri saat ini. Setan pun meniupkan api kebanggaan: “Ah, rasanya tak ada orang sesoleh Anda di kampung ini.”
Rasakanlah dengan nurani paling dalam. Renungkan dengan akal paling sehat yang kita miliki. Temukanlah dosa-dosa kita yang menumpuk itu. Akui di hadapan Allah. Mohonkanlah ampun.
Sekali lagi, cari dan temukan seberapa besar dosa yang menumpuk itu. Karena itu jauh lebih baik, daripada penampakannya justru dilakukan oleh malaikat kematian, di saat pengampunan tak lagi didengarkan. (Mh)