ChanelMuslim.com – Muhammad kecil dibawa pulang oleh Ummu Aiman selepas perjalanan dari Madinah. Ia pulang sambil menangis hatinya dengan rasa pilu karena kini hidup sebatang kara. Muhammad makin merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang anak yatim-piatu. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih.
Baru beberapa hari yang lalu, ia mendengar dari ibunya cerita duka kehilangan ayahandanya semasa ia dalam kandungan. Kini, ia melihat sendiri di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana ayahnya dulu. Muhammad yang masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai seorang yatim-piatu.
Ketika tiba di Mekah, Abdul Muthalib menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam. Kecintaan Abdul Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad.
Kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu membekas begitu dalam pada diri Rasulullah, sehingga di dalam Al Quran pun disebutkan ketika Allah mengingatkan Rasulullah saw akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya di tengah kesedihan itu,
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk,” (QS Adh-Dhuha: 6-7)
Kematian Abdul Muthalib merupakan pukulan yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada anak-anak Hasyim yang memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam, terhormat, dan berpengaruh di kalangan Arab seperti dirinya.
Rasa duka Muhammad belum pulih namun Allah berkehendak lain. Pada usia 80 tahun, sang kakek pun meninggal dunia. Saat itu, Muhammad berusia delapan tahun. Ia mengiringi jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinangan air mata.
Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad. Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Thalib. Anak tertua Abdul Muthalib adalah Harits namun karena Harist tidak mampu, Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib. Sebaliknya, Abbas bin Abdul Muthalib memiliki kemampuan, namun dia kikir sekali dengan hartanya.. Abdul Muthalib lalu menunjuk Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad karena sekalipun miskin, Abu Thalib memiliki perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.
Abu Thalib juga amat menyayangi keponakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan kepentingan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.[ind/Walidah]