ChanelMuslim.com – Bagaimana hukum berzikir dalam hati? Apakah berzikir harus dilafazkan atau diucapkan, atau boleh dilakukan di dalam hati?
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjawab mengenai permasalahan ini yaitu sebagai berikut.
Hukum zikir dalam hati boleh dan tidak ada beda pendapat para ulama atas kebolehannya. Yang para ulama berbeda adalah mana yang lebih utama antara di hati saja atau di lisan saja?
Dalilnya adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan,
maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta,
dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (HR. Bukhari no. 7405)
Baca Juga: Mendamaikan Hati, Pikiran dan Perasaan
Hukum Berzikir dalam Hati
Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:
الذكر يكون بالقلب، ويكون باللسان، والأفضلُ منه ما كانَ بالقلب واللسان جميعاً، فإن اقتصرَ على أحدهما، فالقلبُ أفضل. ثم لا ينبغي أن يُتركَ الذكرُ باللسان مع القلب خوفاً من أن يُظنَّ به الرياءُ، بل يذكرُ بهما جميعاً، ويقصدُ به وجهُ الله تعالى، وقد قدمنا عن الفضيل بن عِياض -رحمه الله- أن ترك العمل لأجل الناس رياءٌ
Zikir itu dilakukan bisa dengan hati, bisa dengan lisan, dan yang paling afdhal adalah dengan hati dan lisan bersamaan, seandainya diambil yang minimal salah satunya saja maka dzikir di hati lebih utama.
Lalu, janganlah meninggalkan dzikir hati dan lisan gara-gara takut prasangka orang lain dirinya riya’, tetapi berdzikirlah dengan keduanya dengan maksud mengharap wajah Allah Ta’ala.
Kami telah menyampaikan riwayat dari Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah bahwa meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. (Al Adzkar, Hlm. 7)
Imam Ibnu Bathal Rahimahullah mengatakan:
قال الطبرى: فإن قيل: أي الذِّكْرين أعظم ثوابًا: الذكر الذي هو بالقلب، أو الذِّكْر الذي هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السَّلف في ذلك، فروي عن عائشة أنَّها قالت: “لأن أذكرَ الله في نفسي أحبُّ إليَّ من أن أذكُره بلساني سبعين مرَّة”، وقال آخرون: ذِكْر الله
باللِّسان أفضل؛ روي عن أبي عُبيدة بن عبدالله بن مسعود قال: “ما دام قلْب الرَّجُل يذكر الله تعالى فهو في صلاة، وإن كان في السُّوق، وإن تحرَّك بذلك اللِّسان والشَّفتان، فهو أعظم”.
Berkata Ath Thabari: “Jika ada pertanyaan mana yang lebih utama dzikir hati saja atau lisan?” Para salaf telah berbeda pendapat.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia berkata: “Zikir di hatiku lebih aku sukai dibanding zikir di lisanku 70 kali.” Sedangkan yang lain berkata: Zikrullah dengan lisan lebih utama.
Dari Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ ud, dia berkata: “Hati seorang laki-laki senantiasa berdizkir kepada Allah di saat shalatnya, tapi saat di pasar dia berzikir dengan lisan dan bibirnya maka itu lebih besar. (Syarh Shahih Al Bukhari, 10/430)
Maka, berzikirlah kepada Allah Ta’ala baik lisan atau hati, apalagi bisa menggabungkan keduanya.
Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala aalihi wa shahbihi wa salam. Demikian. Wallahu a’lam.[ind]