ChanelMuslim.com- Tujuan menikah itu ingin bahagia. Di situ ada cinta. Ada keakraban. Ada saling berbagi. Ada saling menolong dan melindungi.
Orang menyebutnya sebagai ideliasme berumah tangga. Suami ingin yang ideal. Istri pun begitu. Dengan dua sosok yang ingin ideal ini akan lahir generasi yang juga ideal. Wow, betapa bahagianya rumah tangga seperti itu.
Namun, kadang masing-masing kita salah memahami cara mewujudkan yang ideal. Karena soal idealisme bukan hanya cita-cita. Tapi juga cara. Salah menerapkannya, cita-cita mungkin hanya sebatas patokan awal berumah tangga. Sementara kenyataannya masih belum menyentuh separuh ideal.
Di mana kelirunya? Kenapa ideal begitu tumbuh subur di awal, sementara tahun-tahun berikutnya mulai luntur pada sebatas slogan gombal. Ditambah lagi, perjalanan bukan soal mulusnya kendaraan. Tapi juga kepiawaian mengatasi hambatan.
Jawabannya, mungkin sederhana. Perguliran waktu dan dinamika kadang menggiring kita pada pergeseran sudut pandang yang kurang pada posisinya. Bahwa, idealisme berumah tangga tiba-tiba bergeser dari apa yang bisa diterima. Bukan apa yang mesti diberikan.
Contoh, suami mengharapkan sosok ideal dari istri. Begitu pun istri yang terus menuntut tampilnya ideal dari suami. Padahal saat menikah, tuntutan itu sama sekali tidak muncul. Sebaliknya, dasar semangatnya justru ada pada keinginan memberikan yang ideal untuk sosok yang dicintai.
Apa pun bisa dikorbankan demi si dia yang harus bahagia. Dan energi ini hampir setara dari dua pihak itu. Bahwa saya harus mampu membahagiakan dia. Dan cukuplah kebahagian yang dia peroleh itu sebagai imbalan yang saya terima.
Inilah rahasia utama kenapa pengantin baru begitu serba cinta. Serba romantis. Dan selalu serba ingin ideal dalam hampir segalanya.
Namun seiring bergulirnya waktu, dan pergeseran cara menerapkan hal ideal itu; cinta dan romantisme mengalami pasang surut. Itu pun masih bagus. Repotnya jika terus mengalami degradasi, alias merosot ke titik nadir.
Di mana pergeserannya? Suami dan istri menggeser tanggung jawab ideal pada pihak yang bukan dirinya. Seolah ia menganggap dirinya sudah sangat ideal, dan menuntut pasangannya juga ideal.
Padahal, paradigma seperti sangat keliru. Dialah yang harus lebih dulu mempertahankan ideal, bukan menuntut yang lainnya lebih dulu ideal. Kalau dua-duanya memiliki paradigma seperti ini, ideal itu tidak akan pernah mengalami titik temu.
Sayangi dan Hormati
Salah satu kelanjutan dari idealisme pengantin baru adalah menjaga semangat itu pada tataran praktis. Yaitu, munculnya dua sikap yang saling menyambut. Suami menyayangi istri, dan istri menghormati suami.
Sayang itu terasa seperti kata biasa. Padahal begitu berat membuktikannya. Ia juga bukan ungkapan gombal yang sebatas hiasan kata-kata. Tapi memang benar-benar terwujud dalam bukti nyata, setiap hari dan setiap saat.
Sayang adalah upaya sungguh-sungguh menghadiahkan kebahagiaan istri. Tidak peduli ia akan menerima apa. Atau sudah menerima apa. Yang selalu membara hanya satu: istriku harus bahagia.
Itu pada warna aktif. Jika dalam bentuk pasifnya, kalau tidak mampu menyentuh garis kebahagiaan yang sempurna, setidaknya tidak membuatnya terluka. Apalagi tersiksa dan menderita.
Jadi, titik obok-oboknya pada dirinya sendiri. Bukan pada pihak lain. Yang dituntut dirinya sendiri supaya bisa tetap ideal. Bukan pihak lain yang dalam ukuran subjektifnya harus ideal.
Begitu pun dengan hormat. Kalau istri butuh idealisme sayang suami, suami butuh idealisme hormat istri.
Hormat tidak sedangkal yang dibayangkan. Hormat adalah kesungguhan istri untuk menghormati kepemimpinan suami. Ia bersikeras untuk selalu patuh dan taat. Walaupun boleh jadi, ada saat-saat tertentu rasa hormatnya harus didoping kuat dengan kelenturan sikap memaklumi.
Karena leadership itu tidak selalu tumbuh otomatis. Adakalanya harus diberikan stimulus agar bisa terus tumbuh. Leadership mencakup tanggung jawab, manajerial, obsesi untuk sejahtera dan bahagia, kualitas keputusan, dan seterusnya.
Sayang dan hormat terus membara justru dari pihak yang memberikan, bukan yang menerima.
Bahagia hakiki itu bukan tercukupinya apa yang diterima. Tapi justru pada kenikmatan mencerna kesungguhan masing-masing pihak untuk menjadi yang istimewa. (Mh)