ChanelMuslim.com- Pahala itu memang tidak terlihat. Tidak bisa disentuh. Tidak juga memiliki berat dan panjang. Tapi yakinlah, tak ada yang paling bernilai dari dunia ini selain pahala.
Manusia memang senang dengan yang kongkrit. Nyata. Kalau tidak kongkrit dan nyata, jangankan dikejar, ditawarkan pun sangat kurang menarik.
Salah satu dari hal itu adalah pahala. Dalam bahasa agama, sebutannya ajru. Karena nggak kelihatan dan nggak bisa diukur, pendekatan utamanya hanya dengan iman. Yaitu, iman kepada Allah dan Hari Akhir.
Secara teori, mungkin saja kita mengiyakan. Bahkan, memahaminya dengan begitu luas dan dalam. Tapi pada saat prakteknya, yang dipahami itu seperti buyar.
Contohnya sederhana. Pada saat di depan kita terdapat kotak amal, apa reaksi umumnya kita? Kita hanya melirik sebentar, kemudian lewat saja. Bahkan, ada juga yang pura-pura tidak tahu dan melupakan begitu saja.
Kalau pun ada yang tergerak untuk memeriksa isi dompet, yang dicari nominal uang yang paling kecil. Jika di dompet itu ada seratus ribuan, lima puluh ribuan, dua puluh ribuan, sepuluh ribuan, dan lima ribuan. Hampir bisa dipastikan, yang dicabut dari ruang dompet adalah yang lima ribuan.
Itu pun karena lima ribuan yang saat itu berada di posisi terbawah dari level isi dompet. Kalau saja ada dua ribuan, mungkin uang kertas yang nyaris tanpa warna inilah yang tercabut.
Pertanyaannya, bukankah jika infaknya besar, pahalanya juga besar. Dan infaknya kecil, pahalanya juga kecil? Rasanya pertanyaan itu sudah bisa dijawab dengan gampang. Tapi masalahnya, antara pemahaman dan pengamalan seperti berada di dunia yang berbeda.
Itulah umumnya kita. Seperti itukah para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum? Rasanya, sulit menemukan sahabat Nabi yang pelit seperti kita.
Abu Thalhah di antaranya. Sahabat mulia ini pernah mengambil tanggung jawab Nabi untuk menjamu seorang tamu. Ia akan menyediakan makanan dan minuman. Apakah sahabat ini kaya? Malam itu, jatah makanan yang sisa hanya untuk anak-anak.
Dengan kata lain, demi untuk memuliakan tamu Rasulullah itu, sahabat ini merelakan jatah untuk anak-anaknya. Kok bisa senekat itu? Jawabannya, karena apa yang ia pahami tentang agama menyatu dengan apa yang akan ia amalkan.
Begitu pun dengan sahabat kaya seperti Abdurrahman bin Auf. Setiap kali ada peluang untuk berinfak seperti yang diharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia selalu menjadi nomor satu. Bahkan, ia pernah ingin menginfakkan seluruh hartanya untuk biaya perang Tabuk. Tapi hal itu tidak diizinkan Nabi atas bimbingan Allah subhanahu wata’ala.
Baik yang miskin maupun kaya, sahabat Nabi seperti membuktikan tak ada halangan untuk mengukuhkan jati diri. Bahwa, begitu yang dipahami, begitu pula yang akan diamalkan. Tidak ada tapi, tidak ada excuse.
Hasilnya, dengan semangat seperti ini, hanya dalam tiga generasi, di masa Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, nyaris tidak lagi bisa ditemukan para penerima zakat. Karena semuanya ingin membayar zakat.
Begitu pun dengan pahala dari ibadah lain. Seperti shalat misalnya. Kalau dipahami bahwa shalat malam itu pahalanya luar biasa, begitu pula pengamalannya.
Para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum nyaris tak melewati malamnya full untuk tidur. Bahkan selevel anak-anak sekali pun. Abdullah bin Abbas yang usianya masih belasan tahun, bisa shalat malam tiga sampai lima kali semalam.
Ia tidur sebentar, kemudian bangun untuk shalat. Tidur lagi sebentar, kemudian bangun lagi untuk shalat, dan seterusnya. Dan ini bukan hal istimewa di zaman itu. Karena hampir semua sahabat memang seperti itu.
Bagaimana dengan kita? Rasanya, sudah terlalu banyak alasan yang ingin kita lontarkan. Tapi, kita tidak menyadari bahwa generasi kitalah sarana hidup itu Allah sediakan paling mudah. Tidak perlu repot-repot mengumpulkan air untuk wudhu. Cukup dengan pencet tombol saklar, atau hanya memutar keran.
Ternyata, yang kurang dari kita itu bukan karena sarananya. Bukan juga karena pemahamannya. Tapi, lebih karena imannya.
Iman di zaman kita seperti telah mengalami inflasi luar biasa. Kelihatannya saja banyak dan berbobot, tapi isinya kosong melompong. Nilai tukarnya begitu rendah. Kalau bukan karena rahmat Allah, mungkin kita sudah dilikuidasi.
Sebenarnya, bukan para dhuafa itu yang sedang meminta bantuan kita. Tapi, mereka sedang menawarkan pahala. Terserah kita, mau diambil atau tidak.
Pahala memang tidak terlihat dan terukur. Tapi jangan karena itu kita menjadi kurang cerdas. Karena Nabi berwasiat, orang cerdas adalah mereka yang menyiapkan diri di masa hidupnya sebagai bekal untuk matinya. (Mh)