ChanelMuslim.com – Cermin hati itu ada di sini. Cermin itu pantulan diri kita. Ia dibutuhkan kala mata tak mampu menyorot semua sisi yang dibutuhkan.
Dengan cermin, silakan lihat sisi yang ingin dicermati. Wajahkah, sebagian badan, atau seluruh tubuh. Sayangnya, tak semua kita tertarik mencermati hati.
Seorang sahabat nabi shallahu ‘alaihi wasallam tertarik dengan sosok yang dipuji Nabi sebagai penghuni surga. Akan datang seorang penghuni surga. Tak lama, seseorang datang. Tampilannya biasa saja. Tapi ketika peristiwa itu terjadi tiga kali, sahabat ini menganggapnya luar biasa.
Sahabat Nabi ini begitu tertarik. Ia minta izin untuk bermalam beberapa hari dengan suatu alasan. Orang itu pun mengizinkan.
Malam pertama ia lihat biasa saja. Nyaris tak ada amalan istimewa menurut standar sahabat itu. Begitu pun dengan malam kedua dan ketiga. Kali ini, ia akhirnya berterus terang tentang ucapan Nabi yang pernah ia dengar.
Orang itu berujar, hanya ada satu kebiasaan saya saat hendak tidur yang selalu saya jaga. Saya tidak ingin ada ganjalan hati untuk semua orang. Saya hapus semua prasangka. Saya hapus semua ketidaksukaan. Saya berbaik sangka dengan semua yang saya alami hari itu.
Sahabat itu tertegun. Inilah amalan yang luar biasa itu. Tampak sederhana tapi tak mudah saat mengamalkannya.
Apa yang dilakukan sahabat itu bukan sekadar ingin berlomba dalam kebaikan. Tapi, ia sedang bercermin dari orang yang dipuji Nabi berkali-kali. Dan bayangan dari cermin itu pun akhirnya terlihat.
Betapa selama ini, ia menyepelekan hal terpuji menurut Allah subhanahu wata’ala yang akan mengantarnya ke pintu surga. Yaitu, menyapu semua kotor dan debu yang melekat hati saat akan mengakhiri hari dalam tidur.
Masya Allah, kenapa hal baik itu tidak menjadi ciriku juga. Seperti itulah yang bisa ditangkap dari bayangan cermin tentang dirinya.
Dalam semua interaksi hidup, cermin-cermin itu memberikan bayangan tentang kita. Ada bayangan yang samar, tapi tidak sedikit yang terpantul jelas.
Kita menyaksikan sahabat kita yang miskin, tapi gemar bersedekah. Kita menemukan orang cacat, tapi gemar bekerja. Kita mendapati teman yang sedikit ilmu, tapi begitu semangat untuk mengamalkan. Kita pernah bertemu sahabat yang serba kekurangan, tapi selalu bersyukur.
Ya Allah, itulah bayangan cermin-cermin yang Kau perlihatkan kepada kami agar diri ini bisa bersolek. Tapi, kenapa bayangan jelas itu menjadi buram di mata kami.
Seorang ulama pernah trenyuh kala suatu kali ia merasakan hal biasa saja dengan bacaan Alquran dalam sebuah shalat berjamaah. Sementara, begitu banyak jamaah di sekelilingnya menangis.
Ah, ada apa dengan diriku? Apa yang telah hilang dari diri ini sehingga nasihat dari Yang Maha Tahu, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Keras siksanya; tidak menggetarkan hati ini.
Setelah beberapa kali merenungkan hal itu, ia pun menangis. Ia seperti berujar, Ya Allah, jangan Kau jauhkan hati ini dari cahayaMu yang telah menerangi alam raya ini. Jangan Kau jadikan dinding antara hati ini dengan kucuran rahmatMu.
Kita memang tidak seperti ulama itu dengan kemampuan getaran hati yang begitu tinggi. Jangankan dengan bayangan cermin yang begitu jelas, kilasan pantulannya saja sudah menjadi palu besar yang menggedornya menjadi muhasabah diri.
Kenapa pantulan jelas dari cermin hidup itu menjadi buram dalam diri kita? Boleh jadi, bukan cerminnya yang buram. Tapi hati kita yang tak lagi mampu menangkap semua bayangan itu, karena noda-noda yang terus bersidementasi begitu lama.
Namun begitu, jangan pernah berhenti untuk berusaha menemukan bayangan hati dari setiap episod cermin hidup ini. Walaupun masih tertangkap samar, setidaknya hati ini sudah mulai bisa bersolek.
Meski dengan polesan sedikit, setidaknya bisa tampil lebih cantik. Tampil untuk menghadapMu, Wahai Dzat Yang Maha Agung. (Mh)